Wednesday, April 21, 2010

Ekonomi Global : Politik dan Kapitalisme

Critical review ini dibuat berdasarkan buku Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi yang berjudul “International Relations and World Politics Security, Economy, Identity”, pada bab 10 yang berjudul “Global Economy: Politics and Capitalism”. Critical review ini akan menjelaskan tentang Ekspansi dunia ekonomi kapitalis merupakan sebuah proses kritikal dinamis yang biasa disebut globalisasi. Realis, pluralis, strukturalis ekonomi, konstruktivis sosial dan para feminis mungkin kurang sependapat dengan hal diatas secara luas, langkah ekspansi, atau adanya kehadiran masyarakat sipil global. Namun, semuanya merasa bahwa sejarah ekonomi global itu penting serta berkembangnya kapitalisme global yang telah mengaburkan jarak antara konteks ekonomi global dengan ekonomi dunia.
Ekonomi tidak bisa dipisahkan dari politik, bahkan pemegang prinsip laissez-faire sendiri percaya bahwa negara seharusnya tidak mengintervensi pasar. Dalam hal ini kita memakai istilah ekonomi politik yang menangkap esensinya baik secara lokal maupun global – titik temu antara ekonomi dan politik yang membahas tentang keinginan tanpa batas di dunia yang ditandai dengan terbatasnya sumber daya pemenuh. Kapitalisme merupakan bentuk produksi atau ekonomi politik yang tumbuh di Eropa dari Abad Pertengahan hingga masa Renaissance yang menggantikan feodalisme. Atributt yang mendukung tumbuhnya kapitalisme adalah pasar dan uang. Uang memungkinkan tersedianya nilai jual dan nilai beli barang di pasar. Investasi dan budaya komersial juga merupakan atribut kapitalisme. Investasi adalah pembeda antara feodal dengan kapitalisme yang ada pada saat ini. Budaya komersial disini dimaksudkan kepada agama yang sangat tertanam pada budaya masyarakat seperti halnya kumpulan nilai yang ada di masyarakat.
Globalisasi ekonomi dan kapitalisme menciptakan ekonomi gelembung (bubble economic) yang mudah pecah dan jika pecah berakibat pada hacurnya ekonomi banyak negara termasuk Amerika Serikat yang merupakan negara pertama yang menggunakan kapitalis sebagai suatu sistem ekonomi, dan juga ekonomi negara-negara kecil dan negara-negara berkembang. Dalam sistem ekonomi kapitalis, aktivitas ekonominya didasarkan pada mekanisme pasar. Penyerahan aktivitas ekonomi mengikuti mekanisme pasar sudah merupakan konsep yang benar. Namun demikian dalam prakteknya, mekanisme pasar yang terjadi bukan dipengaruhi oleh kekuatan permintaan dan penawaran tetapi lebih banyak disebabkan karena adanya estimasi yang berlebihan (spekulasi) dalam memperoleh keuntungan, kerakusan/ketamakan pelaku ekonomi terutama para kapitalis. Filosofi individualistis mendorong orang dan bahkan negara untuk mementingkan diri sendiri dan tidak peduli dengan orang atau negara lain.
Globalisasi adalah sebuah pemikiran ideologi Kapitalisme yang komprehensif dan meliputi segenap aspek kehidupan, kendatipun yang menonjol adalah aspek ekonomi. Globalisasi merupakan serangan total peradaban kapitalis yang melanda seluruh pelosok dunia dan merupakan serangan yang sangat ganas dan mema- tikan dengan senjata modal –yang memang sangat vital bagi roda kehidupan– untuk melumpuhkan seluruh bangsa di dunia,
Dari sisi sistem dunia, globalisasi dipandang sebagai satu proses yang telah selesai pada abad ke-20 di mana sistem dunia kapitalis menyebar ke seluruh dunia. Sejak pertengahan abad ke-19, institusi dunia yang terasionalisasi dan tatanan budaya telah mengkristal dan terdiri atas model-model yang dapat diaplikasikan secara universal dan membentuk identitas negara-negara, organisasi, dan individu. Globalisasi ekonomi yang dicanangkan oleh Amerika Serikat ke penjuru dunia, menurut Joseph E. Stigliz (2006) menjadi lokomotif awal mula petaka kehancuran ekonomi dunia pada dekade 90-an. Kehancuran ekonomi dunia pada awal dekade 90-an tersebut ditandai dengan euforia kemunculan ekonomi baru di Amerika Serikat dengan lonjakan produktivitas yang tinggi. Perusahaan-perusahaan dot-com di AS merevolusi cara masyarakat Amerika Serikat dalam berbisnis. Bahkan kemunculan ekonomi baru ini disejajarkan dengan revolusi industri dua abad yang lalu yang telah merubah atau mentransformasi perekonomian dari sektor primer ke sektor industri. Implikasi dari globalisasi yang mengarah pada pelanggengan dominasi politik dan ekonomi pada satu kekuatan mengakibatkan lembaga-lembaga keuangan internasional menjadi rujukan utama bagaimana negara-negara Dunia Ketiga harus menjalankan politik pembangunan mereka.
Globalisasi ekonomi dan kapitalisme menciptakan ekonomi gelembung yang mudah pecah dan jika pecah berakibat pada hacurnya ekonomi banyak negara termasuk Amerika Serikat yang merupakan negara pertama yang menggunakan kapitalis sebagai suatu sistem ekonomi, dan juga ekonomi negara-negara kecil dan negara-negara berkembang. Dalam sistem ekonomi kapitalis, aktivitas ekonominya didasarkan pada mekanisme pasar. Penyerahan aktivitas ekonomi mengikuti mekanisme pasar sudah merupakan konsep yang benar. Namun demikian dalam prakteknya, mekanisme pasar yang terjadi bukan dipengaruhi oleh kekuatan permintaan dan penawaran tetapi lebih banyak disebabkan karena adanya estimasi yang berlebihan (spekulasi) dalam memperoleh keuntungan, kerakusan/ketamakan pelaku ekonomi terutama para kapitalis. kapitalis dan globalisasi ini yaitu menjadikan uang sebagai komoditi dan alat spekulasi dalam perekonomian. Karena uang sebagai komoditi maka, nilai uang tidak lagi sesuai dengan nilai riilnya. Selain itu uang mempunyai fungsi sebagai alat produksi dapat melalui bunga yang dilakukan oleh bank. Bank merupakan mesin utama dalam sistim ekonomi kapitalis. Mesin kedua dari sistim ekonomi kapitalis adalah pasar modal yang natabene lebih bersifat spekulatif, dan nilai saham lebih banyak ditentukan oleh opini pemilik modal. Pasar bursa selama ini tidak memberikan kontribusi yang nyata terhadap sektor riil, bahkan cenderung bersifat semu sehingga pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh pasar bursa menjadikan pertumbuhan ekonomi seperti balon yang setiap saat mudah pecah/kempes. liberalisasi investasi dan privatisasi yang terus dilakukan tidak terlepas dari kepentingan negara-negara maju yang membutuhkan lahan baru untuk memutar aliran kapitalnya.
Bukti-bukti di atas seperti macetnya kredit subprime mortagage, tingginya suku bunga, adanya spekulasi yang tinggi dan pasar bursa yang bersifat seperti gelembung memperkuat bukti kegagalan kapitalisme dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan negara. Karena itu, kapitalis bukanlah suatu sistem ekonomi yang segala-galanya. Kapitalis lebih cenderung menimbulkan perbedaan yang makin besar antara yang kaya dengan yang miskin serta melanggengkan kemiskinan.
IMF melalui rezim investasi terbuka untuk mendorong pertumbuhan ekonomi global. Namun, pada kenyataannya pertumbuhan ekonomi yang didorong liberalisasi perdagangan, privatisasi, dan rezim investasi bebas hanya menguntungkan negara-negara maju. Liberalisasi perdagangan tidak hanya mempermudah transfer hasil produksi, tetapi juga mempermudah negara maju untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang dimiliki oleh negara dunia ketiga. Rezim investasi bebas merupakan pintu untuk mempermudah arus investasi yang menjadi faktor penting bagi perkembangan perusahaan multinasional dan transnasional agar mampu bergerak melintasi batas negara. Dengan demikian perusahaan multinasional bisa melakukan ekspansi pasar, produksi, ataupun kegiatan ekonomi lain seperti investasi di sektor jasa, manufaktur, atau komoditas lainnya. Ironisnya, negara-negara maju menerapkan standar ganda dalam kebijakannya. Mereka mendesakkan agenda-agenda ekonomi yang sangat liberal bagi negara dunia ketiga, tetapi di sisi lain memiliki kebijakan nasional yang sangat protektif.
Tatanan dunia baru pasca-Perang Dingin menjadi simbol baru dominasi global, dibungkus dan dikemas untuk memenuhi berbagai ambisi ideologi, politik, ekonomi, perdagangan, dan lainnya dalam dunia yang terkoneksi satu sama lain akibat kemajuan teknologi komunikasi informasi. Para praktisi dan pengamat internasional merumuskannya sebagai The Next Global Mesh yang didasarkan pada pax universalis sebagai inisiatif mencari apa yang disebut ”pengertian bersama”. Hasilnya, rezim dan sistem yang tadinya tertutup, seperti Perjanjian Bretton Woods, yang menghasilkan kekaisaran baru dalam badan-badan internasional, seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, menghasilkan integrasi dunia baru dengan segala bentuk antitesisnya, seperti jaringan teroris global, perdagangan manusia, maupun pemanasan global.
Kapitalisme menyebabkan ketidaksetaraan: sistem dunia kapitalis bergantung pada motivasi konstan untuk menghasilkan akumulasi modal. Sifat kapitalisme memimpin negara-negara dengan keunggulan komparatif (dikembangkan) untuk mengakumulasi modal melalui perampasan atau dengan kata lain untuk mengambil modal dari mereka yang kurang beruntung (un-developed/developing). Akumulasi ini oleh perampasan mengarah pada pembangunan yang tidak seimbang
Globalisasi menyebabkan ketidaksetaraan global dimana terdapat kesenjangan social dan ekonomi. Sejak era perang dingin telah terjadilah klasifikasi antara timur dan barat. Uni Soviet dan Cina yang agak berkembang mewakili Timur dan Amerika beserta para sekutunya mewakili barat. Keluar dari paradigm ini muncullah pembagian Dunia Pertama (Barat), Dunia Kedua (Timur) dengan negara – negara berkembang membentuk Dunia Ketiga. Utara identik dengan pembangunan ekonomi dan industrialisasi sedangkan Selatan mewakili Negara – Negara terjajah yang selalu membutuhkan agenda bantuan internasional.

PERANAN ASEAN DALAM KONFLIK LAUT CINA SELATAN

A. SEJARAH KONFLIK LAUT CINA SELATAN

Secara geografis kawasan Laut Cina Selatan dikelilingi sepuluh negara pantai (RRC dan Taiwan, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei Darussalam, Filipina), serta negara tak berpantai yaitu Laos, dan dependent territory yaitu Macau. Luas perairan Laut Cina Selatan mencakup Teluk Siam yang dibatasi Vietnam, Kamboja, Thailand dan Malaysia serta Teluk Tonkin yang dibatasi Vietnam dan RRC. Kawasan laut Cina Selatan, bila dilihat dalam tata lautan internasional merupakan kawasan bernilai ekonomis, politis dan strategis. Kawasan ini menjadi sangat penting karena kondisi potensi geografisnya maupun potensi sumber daya alam yang dimilikinya. Selain itu, kawasan tersebut merupakan jalur pelayaran dan komunikasi internasional (jalur lintas laut perdagangan internasional), sehingga menjadikan kawasan itu mengandung potensi konflik sekaligus potensi kerjasama. Sebuah perairan dengan potensi yang sangat luar biasa, kandungan minyak dan gas alam yang tinggi juga peranannya yang sangat penting sebagai jalur perdagangan dan distribusi minyak dunia membuat laut china selatan menjadi objek perdebatan regional selama bertahun-tahun. Paling tidak ada 9 negara yang mengajukan klaim atas wilayah laut china selatan, belum termasuk negara-negara maju yang juga punya kepentingan tersendiri terhadap laut cina selatan.
Perkiraan kandungan minyak bumi di kawasan laut cina selatan cukup beragam. Cina sangat aktif mengklaim kawasan laut cina selatan karena pernah mengeluarkan estimasi kandungan minyak di kawasan laut cina selatan sebanyak 213 bbl (billion barrels), sementara Amerika memperkirakan kandungan minyak di laut cina selatan sebanyak 28 bbl. Seperti halnya minyak bumi, kandungan gas alam di kawasan laut cina selatan juga beragam dengan angka yang sangat luar biasa.
Selain sumber daya alam laut cina selatan, jalur pelayaran juga menjadi latar belakang kuat bagi negara-negara maju untuk menjadikan stabilitas kawasan laut cina selatan sebagai prioritas dalam aktifitas politik luar negerinya. Sebut saja jepang, 80 persen import minyaknya diangkut melalui jalur kawasan laut cina selatan. Amerika juga sangat membutuhkan kawasan ini untuk mendukung mobilitas pasukan militernya dalam melancarkan dominasi globalnya. Selain itu, Amerika juga mempunyai angka kerjasama perdagangan yang tinggi dengan negara-negara di kawasan laut cina selatan. Dengan latar belakang potensi yang begitu besar, maka tidak berlebihan jika kawasan ini menjadi objek perdebatan multilateral.
Di Laut Cina Selatan terdapat empat kelompok gugusan kepulauan, dan karang-karang yaitu: Paracel, Spartly, Pratas, dan kepulauan Maccalesfield. Meskipun sengketa teritorial di Laut Cina Selatan tidak terbatas pada kedua gugusan kepulauan Spartly dan paracel, (misalnya perselisihan mengenai Pulau Phu Quac di Teluk Thailand antara Kamboja dan Vietnam), namun klaim multilateral Spartly dan Paracel lebih menonjol karena intensitas konfliknya. Di antara kedua kepulauan itu, permasalahannya lebih terpusat pada Spartly, yang merupakan gugus kepulauan yang mencakup bagian laut Cina Selatan, yang diklaim oleh enam negara yaitu Cina, Taiwan, Vietnam, Brunei, Filipina, dan Malaysia, sementara Kepulauan Paracel dan juga Pratas, praktis secara efektif masing-masing sudah berada di bawah kendali Cina dan Taiwan.
Mengenai penamaan Kepulauan di Laut Cina Selatan umumnya tergantung atas klaimnya, Taiwan misalnya menamakan Kepulauan Spartly dengan Shinnengunto, Vietnam menyebut dengan Truong Sa (Beting Panjang), Filipina menyebut Kalayaan (kemerdekaan), Malaysia menyebut dengan Itu Aba dan Terumbu Layang-layang, sedangkan RRC lebih suka menyebut Nansha Quadao (kelompok Pulau Selatan). Masyarakat internasional menyebutnya Kepulauan Spartly yang berarti burung layang-layang.

B. KONSEP KERJASAMA ASEAN DALAM MENYELESAIKAN KONFLIK LAUT CINA SELATAN

Deklarasi Bangkok 1967 telah menetapkan bahwa bidang ekonomi dan sosial budaya merupakan bidang-bidang penting ASEAN. Deklarasi Bangkok tidak secara eksplisit menyebut kerjasama politik dan keamanan. Namun demikian, sejak awal berdirinya ASEAN, kerjasama politik dan keamanan mendapat perhatian dan dinilai penting. Kerjasama politik dan keamanan terutama diarahkan untuk mengembangkan penyelesaian secara damai sengketa-sengketa regional, menciptakan dan memelihara kawasan yang damai dan stabil, serta mengupayakan koordinasi sikap politik dalam menghadapi berbagai masalah politik regional dan global. Dengan kata lain, Deklarasi Bangkok mengandung keinginan politik para pendiri ASEAN untuk hidup berdampingan secara damai dan mengadakan kerjasama regional. Pada prinsipnya kerjasama politik dan keamanan ASEAN mempunyai arah dalam menciptakan stabilitas dan perdamaian kawasan dengan bertumpu pada dinamika dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan serta sekaligus dapat membangun rasa saling percaya (confidence building) menuju suatu “masyarakat kepentingan keamanan bersama” di Asia Tenggara dan Asia Pasifik yang kemudian sehingga menumbuhkan pengharapan terciptanya sebuah lingkungan strategis yang diharapkan.
Berdasarkan tujuan-tujuan dasar organisasi tersebut, ASEAN berupaya untuk mengambil bagian dalam memecahkan persoalan konflik Laut Cina Selatan dengan upaya-upaya damai. Apalagi, ketegangan yang terjadi diantara negara-negara yang bersengketa sangat rawan konflik. Kondisi ini mencerminkan adanya dilema keamanan (security dilemma) sehingga mendorong lahirnya konsep yang lazim disebut sebagai security interdependence, yaitu bentuk usaha keamanan bersama untuk mengawasi masalah-masalah regional, yang menyangkut keamanan regional yang diakibatkan munculnya gangguan di kawasan Laut Cina Selatan.
Dalam memperoleh keamanan bersama yang komprehensif maka setidaknya dapat menjalankan konsep keamanan yang kooperatif di kawasan. Di antara negara-negara ASEAN misalnya, istilah Ketahanan Nasional dan Ketahan Regional menjadi suatu konsep kooperatif yang pada intinya bersifat inward looking yang telah lama mendasari hubungan antarnegara. Dengan demikian dalam usaha mewujudkan kerjasama keamanan tersebut harus dibarengi dengan semangat konstruktif dan penuh keterbukaan di antara negara-negara di kawasan baik itu dalam konteks ASEAN maupun Asia Pasifik. Inti semangat itu adalah mendahulukan konsultasi daripada konfrontasi, menentramkan daripada menangkal, transparansi daripada pengrahasiaan, pencegahaan daripada penanggulangan dan interdepedensi daripada unilateralisme.
Oleh karena itu, dalam mengatasi potensi konflik di Laut Cina Selatan, diharapkan nilai-nilai positif yang dapat dicapai ASEAN melalui pengelolaan keamanan bersama regional (regional common security) harus dipromosikan untuk menciptakan keamanan dan perdamaian berlandaskan kepentingan yang sama, sehingga semua negara kawasan, termasuk negara ekstra kawasan harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi dalam memberikan jaminan keamanan kawasan di samping adanya konvergensi kepentingan masing-masing. Hal ini penting karena pada dasarnya kawasan Laut Cina Selatan merupakan lahan potensial masa depan dan salah satu kunci penentu bagi lancarnya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional masing-masing negara kawasan. Selain itu, Laut Cina Selatan juga tidak dapat dijauhkan dari fungsinya sebagai safety belt dalam menghadapi ancaman, tantanganm hambatan dan gangguan khususnya bagi negara-negara dalam lingkaran Asia Tenggara dan Asia Pasifik. Pada titik inilah ASEAN melihat urgensitas Konflik Laut Cina Selatan sebagai masalah yang sangat penting.

C. PENGARUH KONFLIK LAUT CINA SELATAN BAGI ASEAN SERTA PERANAN ASEAN REGIONAL FORUM (ARF)

Dengan berakhirnya perang dingin, ASEAN sebagai organisasi kawasan Asia Tenggara tidak dapat lagi melihat persolaan dan ancaman terbatas satu kawasan saja. Tetapi harus lebih dapat menangkap segala keadaan yang mengancam yang dapat datang dari manapun, termasuk dari kawasan yang lebuh luas, seperti Asia Pasifik. Perubahan sistem internasional yang menciptakan konsep-konsep keamanan baru tersebut melatarbelakangi ASEAN untuk mengambil bagian dalam penyelesaian konflik di Laut Cina Selatan, disamping beberapa pertimbangan dan kepentingan-kepentingan ASEAN lainnya. Signifikansi konflik Laut Cina Selatan bagi ASEAN, secara singkat dapat duraikan sebagai berikut:
a) Kepentingan ASEAN dalam menjaga stabilitas hubungan negara-negara anggotanya, khususnya yang terlibat langsung dalam konflik Laut Cina Selatan (Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darusalam).
b) Laut Cina Selatan merupakan wilayah yang strategis dan sangat potensial untuk menjadi pangkalan militer dari negara-negara yang akan meluaskan pengaruhnya di Asia Tenggara. Kemungkinan tersebut merupakan ancaman yang harus diperhatikan ASEAN dalam mempertahankan keamanan regional.
c) Ketiga, masalah ekonomis. Laut Cina Selatan memiliki potensi besar baik dari sumber daya mineral, perikanan bahkan minyak dan gas bumi.
Dengan demikian, konflik Laut Cina Selatan juga merupakan wahana bagi ASEAN untuk mempertegas eksistensinya sebagai organisasi regional yang solid dan masih berfungsi sebagaimana mestinya. regionalisme ASEAN sangat penting dikembangkan menjadi satu kawasan yang lebih luas yaitu regionalisme Asia Pasifik, dimana masalah-masalah regional seperti sengketa Laut Cina Selatan tidak hanya melibatkan negara-negara ASEAN akan tetapi juga negara non-ASEAN seperti RRC dan Taiwan dan negara kawasan lainnya yang tidak terlibat langsung. Eksistensi ASEAN, dalam pembentukkannya dan pencapaian tujuannya, disandarkan pada inspirasi, komitmen politik dan keamanan regional. Ada empat keputusan organisasional yang dapat dijadikan landasan dan instrumen dalam pengelolaan potensi konflik laut Cina Selatan. Keempat keputusan organisasional tersebut yaitu:
a) Deklarasi Kuala Lumpour 1971 tentang kawasan damai, bebas dan Netral (ZOPFAN).
b) Traktat Persahanatan dan kerjasama di Asia Tenggara (TAC) yang dihasilkan oleh KTT ASEAN I 1976.
c) Pembentukan ASEAN Regional Forum (ARF) dan pertemuan pertamanya di bangkok tahun 1994.
d) KTT ASEAN V (1995) menghasilkan traktat mengenai kawasan Bebas Senjata Nuklir di Asia Tenggara (Treaty on South East Zone-Nuclear Free Zone – SEANWFZ).
ASEAN Regional Forum (ARF) merupakan forum dialog resmi antarpemerintah dan merupakan bagian dari upaya membangun saling percaya di kalangan negara-negara Asia Pasifik untuk membicarakan masalah-masalah keamanan regional secara lebih langsung dan terbuka sehingga ASEAN dapat tumbuh secara lebih kuat dan mandiri. ARF lahir sebagai implikasi logis dari berakhirnya sistem bipolar di Asia pasifik dan mengharuskan negara-negara Asia Pasifik mencari pendekatan-pendekatan baru atas masalah-masalah keamanan di kawasan. Pada saat yang sama dinamika kawasan di Asia Pasifik masih menyimpan beberapa ketidakpastian, dimana salah satunya berupa konflik-konflik teritorial khususnya konflik teritorial di Laut Cina Selatan.
Dengan demikian ARF merupakan forum multilateral pertama di Asia Pasifik untuk membahas isu-isu keamanan. Pembentukan lembaga ini merupakan sebuah langkah mendahului oleh negara-negara ASEAN, yang memberi arti sukses dan kemandirian pengelompokkan regional itu. Ini juga merupakan salah satu bukti keunggulan ASEAN dalam memanfaatkan momentum agenda keamanan kawasan. Misalnya keberhasilan ASEAN dalam melakukan dialog multilateral tentang masalah di Laut Cina Selatan. Keberhasilan tersebut merupakan upaya penting untuk mencegah pecahnya konflik antarnegara yang terlibat sengketa perbatasan di kawasan Asia pasifik.
Dari uraian diatas nampak bahwa ARF memiliki peran yang signifikan dalam berbagai isu keamanan yangmenyimpan sejumlah konflik. Selain itu makna ARF menjadi semakin penting sebagai satu-satunya forum keamanan yang paling banyak diminati oleh negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Sejak berdirinya, forum ini telah menyumbangkan berbagai program konkret dalam mengelola isu keamanan regional di Laut Cina Selatan.
REFERENSI
Peter lewis Young, “The Potential for Conflict in South China Sea”, (The Various Names Given to the Spartly), Asian Defence Journal, 1995.
Asmani Usman, “konflik Batas-batas Teritorial di kawasan Perairan Asia”, dalam Strategi dan Hubungan Internasional, Indonesia di Kawasan Asia Pasifik,
Abdul Rivai Ras, “Konflik Laut Cina Selatan dan Ketahanan Regional Asia Pasifik”, PT. Rendino Putra Sejati dan TNI AL: Jakarta, 2001
Penyelesaian Konflik Laut Cina Selatan, http://theglobalpolitics.com/?p=55 diakses pada 7 November 2009

Wednesday, April 7, 2010

DEMOKRATISASI DI FILIPINA

DEMOKRATISASI DI FILIPINA

A. Tinjauan Mengenai Demokratisasi Filipina

Filipina adalah negara termakmur di Asia setelah Jepang pada dekade tahun 1960an. Pada dekade itu Filipina bahkan memiliki potensi menjadi salah satu kekuatan utama ekonomi di Asia. Namun kejatuhan mantan Presiden Marcos membalikkan status Filipina. Di era Presiden Arroyo, kinerja ekonomi membalikkan semua perkiraan pengamat. Ekonomi tumbuh sekitar rata-rata 5%. Selama ini paling tidak telah terjadi 7 percobaan kudeta di Filipina sejak tahun 1986 dan angkatan bersenjata tetap memegang peranan penting dalam kehidupan politik di negara itu.
Pemerintah Filipina mengikuti Pemerintah Amerika Serikat. Presiden dipilih dalam pemilu untuk masa jabatan 6 tahun, dan memilih dan mengepalai kabinet. Filipina merupakan anggota aktif dari PBB sejak penerimaannya pada 24 Oktober 1945. Filipina juga merupakan negara pendiri ASEAN, dan merupakan pemain aktif dalam APEC, Latin Union dan anggota dari Group of 24. Filipina juga merupakan sekutu Amerika Serikat, tetapi juga merupakan anggota dari Gerakan Non-Blok. Pengaruh Amerika sangat kuat, baik di bidang perekonomian, ideologi, maupun kebudayaan. Amerika dijadikan sebagai lambing kemajuan dan teladan bagi sebagian rakyat Filipina. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan kapitalisme yang dijunjung oleh Amerika dalam mencapai kemajuan, dianut oleh Filipina. Kapitalisme dianggap system yang paling tepat dalam mencapai pembangunan negeri. Di Filipina sendiri ada gerakan politik yang menginginkan dirinya sebagai salah satu Negara bagian Amerika. Di sisi lain, sebagian kelompok intelektual dan mahasiswa, berpendapat bahwa masa depan Filipina tidak terletak pada system kapitalisme dan kerjasama dengan Amerika.

People Power merupakan salah satu bentuk kekuatan rakyat yang bertujuan untuk menumbangkan penguasa. People Power juga merupakan salah satu simbol demokrasi. Aksi ini tidak dapat terjadi apabila semua elemen rakyat tidak bersatu padu. Pada intinya, demokrasi Filipina pasca-jatuhnya Ferdinand Marcos oleh People Power 1986 belum mampu menghadirkan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyatnya, melainkan justru kesenjangan sosial-ekonomi dan ketidakadilan yang merajalela. Berulangnya kudeta militer pembelot Filipina, mencerminkan masih kuatnya mental 'petualangan' militer di Manila. Hal ini, untuk sebagian, juga akibat masih kuatnya tradisi 'bos-isme' dan 'orang kuat' dalam politik di negeri itu.
Di tengah kompleksitas masalah itu, institusi militer Filipina yang memiliki personel idealis sekaligus petualang dan mempunyai militer progresif, menjadi mudah didorong untuk melawan kekuasaan yang sah. Sikap ini membuat Filipina selalu berada di bawah ancaman dalam 21 tahun terakhir. Memang, kudeta itu tidak selalu berhasil menjatuhkan pemerintahan. Tapi, dinamika kudeta dan pola pengacauan pada stabilitas negara tak kunjung henti. Jika bukan kudeta, Filipina akan selalu diterpa isu kudeta. Dua dari lima presiden Filipina sejak 1986 mundur karena kudeta yang juga didukung kekuatan rakyat, yakni Marcos dan Joseph Estrada. Dua lainnya, Corazon Aquino dan Arroyo, juga diterpa kudeta.
Hanya satu presiden Filipina yang tidak menghadapi upaya kudeta, yakni Fidel Ramos, yang berasal dari militer. Untuk kasus Ramos, publik Filipina memandangnya sebagai pemimpin yang mumpuni, kalaupun bukan yang terbaik, pasca-era Marcos. Perspektif John Sidel tentang konsep 'boss-isme' dan perspektif Abinales mengenai 'orang kuat' memudahkan kita menganalisa kembali hubungan antara 'masyarakat' dan 'negara' di Filipina dengan memberikan tekanan terhadap proses sejarah pembentukan negara itu sejak masa kolonial Amerika Serikat.
Meminjam perspektif Abinales, tampak bahwa pembentukan negara itu tidak tumbuh secara terpisah dari kemunculan 'orang kuat', melainkan justru sangat memberikan dasar yang kokoh bagi konsolidasi dan kemunculannya. Senada dengan Abinales, akademisi John Sidel melihat Filipina menjadi negara penghisap sebagai hasil ciptaan dari para bos yang juga penghisap, yang merupakan bagian dari jaringan kompleks para bos di negeri itu sejak pembentukannya karena kuatnya pengaruh kolonial AS.
Maka, meski demokratisasi telah diterapkan di Filipina pasca-kejatuhan Marcos, birokrat dan pejabat negeri itu tidaklah mengakomodasi hak-hak sosial-ekonomi rakyat dan hak asasi manusia, pemerintahan yang baik (good governance), pemilihan umum yang adil dan terbuka, serta masyarakat sipil yang independen. Para elite Filipina telah membiarkan demokrasi menjadi 'permainan' yang tidak mampu mendorong pencapaian tujuan utama demokrasi, yaitu kesejahteraan, kesetaraan, dan keadilan serta penguasaan massa terhadap semua urusan publik berdasarkan persamaan hak politik.
Sekitar 80% warga Filipina hanya menikmati 20% kue pembangunan nasionalnya dan kegagalan land reform di era demokrasi Manila kian menjerumuskan rakyat ke dalam situasi pupus harapan dan disilusi. Malah, di era demokrasi Filipina, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan keterbelakangan terus berlanjut. Situasi ini, menurut Dr. Olle Tornquist -akademisi Universitas Oslo, Swedia, memungkinkan keberhasilan berbagai 'kelompok dominan', yakni 'orang kuat' dan 'bos-bos' ekonomi-politik di Filipina, untuk membajak demokrasi.
B. Pengaruh Amerika bagi Demokratisasi Filipina
Amerika sebagai mantan penjajah Filipina, memiliki pengaruh besar bagi perkembangan bangsa Filipina. Amerika melakukan berbagai perubahan signifikan bagi Filipina. Sistem pendidikan dan demokrasi dibangun, Bahasa Inggris menjadi bahasa nasional, sistem administrasi publik dibuat serta berbagai transformasi „America way“ lainnya dikembangan ke masyarakat Filipina. Warisan sistem demokrasi Amerika juga mendapat catatan kritis oleh Abueva, seperti yang dikutip oleh Buendia (1994). Bagi Abueva, hal terpenting yang dapat dipelajari dari sistem demokrasi yang diajarkan oleh Amerika adalah; “hanya bangsa Filipina lah yang paling tahu tentang sistem politik dan ekonomi yang tepat buat rakyatnya“. Filipina lah yang harus menentukan sendiri model terbaik buat bangsanya.
Abueva melihat adanya perselingkuhan politik antara Amerika dengan elit Filipina dalam mengimplimentasikan demokrasi. Amerika membentuk format aliansi dengan para tuan tanah, membangun oligarki politik serta menerapkan sistem administrasi terpusat. Pusat mengatur segalanya tapi oleh pusat sebagian besar penduduk yang miskin di daerah pedesaan dibiarkan begitu saja. Para elit politik yang terpilih, biasanya pro Amerika, akan meletakan kepentingan bangsa Filipina dibawah bayangan kesepakatan sang elit tadi dengan Amerika.
Warisan sistem demokrasi yang salah dari Amerika ini terus membudaya di Filipina meskipun negara tersebut telah meraih kemerdekaannya. Buendia mencatat akibat warisan salah ini maka lahirlah model politik „neo-colonial politics“, dimana pemimpin politiknya berorientasi pada kepentingan global. Ada juga „patronage politik“ dan „elitis politik“ yang biasa terjadi pada daerah pertanian dimana para tuan tanah atau sedikit elit masyarakat saja yang bisa menjadi pemimpin politik. Selain itu dikenal juga „politik kupu-kupu“, politik tanpa idiologi yang jelas. Akibatnya model ini melahirkan tokoh politik yang pragmatis dan opportunis.
Pada akhirnya sistem politik yang rancu diatas membuat masyarakat frustasi. Mereka memimpikan lahirnya seorang „Robin Hood“ yang menyelamatkan rakyat. Muncul lah model „politik personalitas“ dimana tokoh yang berhasil mengindentifikasi sebagai pahlawan rakyat akan dipilih oleh masyarakat. Contoh gamblangnya adalah Joseph Estrada, mantan bintang film „Robin Hood ala Filipina“ yang terpilih menjadi presiden. Sayangnya Estrada harus mengakhiri karir politiknya secara dramatis di penjara akibat korupsi. Dampak dari mis-education dan „perselingkuhan demokrasi“ inilah yang mungkin menjadi problem besar bagi Filipina dewasa ini. Kemajuan Filipina menjadi bangsa yang kuat tersendat sekalipun berbagai berbagai potensi sudah dimilikinya.
C. Filipina dan Kudeta Kekuasaan
Konsensus dan konflik berjalan demikian cepat di Filipina. Hubungan politik Presiden Arroyo dan pesaingnya yakni mantan Presiden Joseph Estrada (70 tahun) juga tergolong unik. Belum lama ini Arroyo memberi konsesi politik yang melonggarkan nafas dan ruang gerak politik bagi Estrada. Beberapa pekan setelah menjalani hukuman penjara seumur hidup karena kasus korupsi, Estrada mendapat grasi atau pengampunan penuh dari Presiden Arroyo, setelah Estrada memenuhi permintaan Arroyo untuk tidak kembali mengikuti pencalonan presiden. Meskipun Arroyo berwenang untuk memberikan grasi pada Estrada, oleh sementara kalangan tetapi langkah politiknya itu dianggap mencederai proses hukum. Senator Richard Gordon yang selama ini kerap mengecam Estrada menegaskan, grasi itu hanya akan merusak citra Filipina (Kompas, 27/11/2007).
Popularitas politik Arroyo memang tengah anjlok di Filipina. Presiden perempuan yang bernama lengkap Gloria Macaraeg Macapagal-Arroyo (60 tahun) ini adalah presiden ke-14 Filipina, pada 2001 dan terpilih kembali pada 2004. Ia tampil sebagai presiden perempuan setelah Corazon C. Aquino. Ayahnya adalah mantan Presiden Diosdado Macapagal (1961-1965). Arroyo diambil sumpah jabatannya untuk kedua kali pada 30 Juni 2004, di Pulau Cebu.
Goncangan politik beberapa kali terjadi pada Arroyo, termasuk tuduhan kecurangan pemilu dan korupsi. Pada 10 Juni 2005, Samuel Ong, mantan wakil direktur Biro Penyelidik Nasional (National Bureau of Investigation), menuduh bahwa Arroyo telah berbuat curang dalam pemilu presiden 2004. Buktinya berupa rekaman kaset pembicaraan antara Arroyo dengan anggota Komisi Pemilu. Arroyo mengaku telah berbicara dengan orang tersebut, namun menolak pendapat bahwa dia telah mempengaruhi hasil pemilu.
Krisis memuncak pada 8 Juli 2005, sepuluh menteri dalam kabinet Arroyo mengundurkan diri dan meminta agar Arroyo juga mengikuti jejak mereka. Seruan ini juga didukung Partai Liberal dan mantan presiden Corazon Aquino. Di tengah desakan kuat agar ia mengundurkan diri, Arroyo lolos dari ancaman impeachment. Kekuatan politik Arroyo di parlemen masih kuat (mayoritas). Di sisi lain, Arroyo masih mewarisi tradisi kudeta pasca-Marcos. Dan, untungnya, kudeta-kudeta itu selalu gagal. Tapi, bagi Arroyo tentu amat serius dampaknya, karena uapaya kudeta yang gagal bagaimanapun merupakan bentuk ”protes yang keras”. Pertentangan – pertentangan yang terjadi di Filipina yang menyebabkan tumbangya Marcos bukan disebabkan oleh Cory Aquino, melainkan perubahan – perubahan yang terjadi pada rakyat Filipina yang telah melakukan pertentangan – pertentangan. Adanya pertentangan antara kaum jelata dengan kaum elit dan pertentangan antara kelompok elit itu sendiri akibat system kapitalisme yang ada di Filipina.
• Ada persoalan politik yang memunculkan political distrus. Faktanya, Arroyo dianggap bermasalah oleh lawan-lawan politiknya. Dalam dinamika politik sipil, kontroversi politik adalah satu hal yang biasa. Penyelesaian dari semua itu, adalah proses politik dan kalaupun buntu, pengadilan yang netral dan independenlah yang maju. Semua itu tentu diselaraskan dengan konstitusi yang ada. Konsekuensi “penyelesaian sipil” itu ialah hadirnya kegaduhan politik. Dan di negara yang menganut sistem demokrasi, kegaduhan politik itu biasa.
• Netralitas militer dalam politik. Selama militer masih terpesona dan geregetan pada kegaduhan politik yang “demokratis”, maka hanya akan menambah suasana politik semakin panas. Militer gampang larut dalam suasana politik, dan masih terjangkit euforia “people power”, sehingga membuatnya gampang untuk tidak netral. Ini membuat Filipina menjadi salah satu potret negara demokrasi pasca jatuhnya-Marcos yang, sayangnya sering gaduh. Dan, kegaduhan itu tak tanggung-tanggung, melibatkan kalangan militer di dalam lingkaran konflik politik.
Peran ”empuk” Presiden Filipina Gloria Macapagal-Arroyo yang memimpin Filipina setelah Marcos boleh berbangga memiliki seluruh harta warisan Marcos. Arroyo bisa dibilang berhasil meraih sukses. Setidaknya, setelah Filipina berhasil meraih kembali harta kekayaan negara yang telah dijarah oleh rezim Marcos saat itu. Dari keberhasilan Gloria Macapagal-Arroyo itulah Corazon ’Cory’ Aquino menitih perjuangannya untuk merebut hak-hak rakyat yang sudah dirampas oleh penguasa-penguasa dan kroni-kroni Marcos yang otoriter dan kejam kepada rakyat.
Selaras dengan mengusut kematian suaminya Benigno Aquino, pada 21 Agustus 1983 memicu protes skala luas terhadap Marcos yang berpuncak pada penggulingan secara damai pada Februari 1986. Ia kabur ke Hawaii dan tetap di pengasingan hingga meninggal pada 28 September 1989. Mengembalikan Hak Rakyat Lika-liku dan alih kekuasaan ketika itu tak menutupi perjuangan Corazon ’Cory’ Aquino untuk mengkondisikan kembali negara pasca-otoritarianisme kekuasaan. Beberapa negara yang terlepas dari rezim otoriter biasanya dilimpahi utang luar negeri yang menggunung, kondisi ekonomi yang carut-marut, dan berbagai kebobrokan sosial-ekonomi.
Di negara-negara yang di masa lalu diperintah oleh diktator, sudah bukan rahasia lagi bahwa kekayaan negara, hak rakyat banyak dijarah oleh sang diktator. Kekuasaan yang korup oleh sang diktator ini biasanya melibatkan kerabat dan kroni-kroninya. Di sinilah, Corazon ’Cory’ Aquino berperan penting mengembalikan kondisi negara yang lebih membaik.
Untuk itu, perjuangan para pemimpin yang menginginkan kedamaian dan kesejahteraan rakyatnya melalui demokrasi sudah seharusnya didukung. Sepeninggal Corazon ’Cory’ Aquino telah memberikan catatan bagi birokrasi Filipina khususnya dan negara-negara dunia umumnya untuk membela rakyat dalam kondisi apapun. Dan melangkahkan kaki membasmi korupsi dan otoriter kekuasaan. Semua itu untuk membangun pemerintahan yang demokratis.
Tidak seperti Marcos yang arah pemerintahannya makin menjauh dari demokrasi ketika ia menerapkan ”martial law” (Undang-undang Darurat Militer) sejak 1972 hingga 1986. Hukum itu mengatasi hukum sipil dan bertujuan meredam perlawanan pada ide, niat dan perintah Marcos.

UU ini diterapkan untuk mengabadikan kekuasaan Marcos. Yang kemudian ditandai dengan kehancuran secara sistematik institusi demokratik, ambruknya perekonomian, merebaknya kemiskinan dan kekerasan. Tak salah jika pesaingnya Senator Benigno Aquino dibunuh karena berusaha meredam ototriterianisme itu. Akan tetapi, melalui pemerintah Swiss, Mahkamah Agung Swiss telah menyetujui penyerahan 683 juta dolar AS atau sekitar Rp 5,8 triliun milik Marcos kepada pemerintah Filipina. Uang itu tersimpan pada dua rekening bank milik Marcos di perbankan Swiss. Selama memerintah, Marcos mengorupsi uang rakyat sebesar 5-10 miliar dolar AS atau sekitar Rp 40-80 triliun. Dana itu awalnya hanya sebesar 356 juta dolar AS ketika ditemukan dan dibekukan oleh pemerintah Swiss tahun 1986. Namun, uang itu telah beranak-pinak menjadi 683 juta dolar AS.
Penyitaan Harta Memang patut ditiru apa yang telah dilakukan oleh Presiden Arroyo, yakni menggunakan uang itu untuk kepentingan umum seperti pemberantasan kemiskinan, termasuk reformasi agraria. Sebagian dana itu dibagikan kepada keluarga dan korban penindasan selama kekuasaan rezim Marcos. Arroyo telah memerintahkan bahwa sekitar delapan milyar peso atau sekitar 146,2 juga dolar AS uang dari Swiss tersebut agar diamankan untuk keperluan kompensasi bagi korban pelanggaran HAM. Korban Marcos tak lain korban dari penetapan UU Darurat dicanangkan 1972. Selama masa kediktatoran, tidak sedikit korban yang jatuh, yang dirampas hak-hak politiknya, yang disiksa dengan tindak kekerasan. Mereka ini adalah para pemberani yang tidak takut mengambil risiko untuk menegakkan demokrasi. Tanpa perjuangan itu, barangkali Marcos akan tetap aman-aman saja di singgasana kekuasaannya.
Yang pasti, penyitaan dana Marcos adalah kemenangan bagi rakyat Filipina. Sebuah kemenangan yang tak ternilai, prestasi yang membanggakan setelah melalui jalan terjal dan berliku. Bagi Filipina, penyitaan harta Marcos merupakan tonggak sejarah penting dalam perjuangan hukum dan penegakan keadilan selama lebih dari satu dasawarsa. Uang rakyat telah kembali kepada rakyat. Panji-panji keadilan terus berusaha untuk ditegakkan. Corazon ’Cory’ Aquino maupun Arroyo merupakan pilar yang patut dijadikan contoh pemimpin demi menciptakan kesejahteraan serta keadilan bagi rakyat. Ini jelas prestasi besar yang sangat sulit dibayangkan jika bisa terjadi di Indonesia. Banyak orang pesimis bisa membangun angan-angan dan cita-cita luhur di Indonesia. Bukan tidak mungkin, pelajaran berharga dari Filipina atau perjuangan Corazon ’Cory’ Aquino dan Arroyo juga akan lenyap bagai asap, masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Selain itu, seriuskah aparat penegak hukum kita memburu harta yang dijarah oleh penguasa dari rakyat.
Kasus Filipina ini juga menjadi pelajaran sangat berharga bagi negara lain tentang pentingnya stabilitas politik. Filipina adalah negara termakmur di Asia setelah Jepang pada dekade tahun 1960an. Pada dekade itu Filipina bahkan memiliki potensi menjadi salah satu kekuatan utama ekonomi di Asia. Namun kejatuhan mantan Presiden Marcos membalikkan status Filipina. Di era Presiden Arroyo, kinerja ekonomi membalikkan semua perkiraan pengamat. Ekonomi tumbuh sekitar rata-rata 5%.

TRANSFORMASI AMERIKA LATIN MODERN

Resume ini dibuat berdasarkan buku Thomas E. Skidmore dan Peter H. Smith, Modern Latin America Bab II the Transformation of Modern Latin America. Di dalam resume ini penulis akan bercerita tentang transformasi yang dialami oleh Negara – Negara Amerika Latin sejak pasca kemerdekaan hingga era 1990an.


A. FASE I : INISIASI PERTUMBUHAN EKSPOR – IMPOR 1880 – 1900
Kemerdekaan yang telah didapatkan oleh negara – negara Amerika Latin ternyata tidak membuat negara – negara tersebut juga ”merdeka” dalam pembangunan ekonominya. Ini dapat dilihat dari ketergantungan Amerika Latin terhadap perdagangan dunia yng dikendalikan oleh pihak asing, khususnya dengan negara – negara Eropa seperti Spanyol dan Portugal. Apalagi perkembangan industrialisasi di Eropa menyebabkan ketergantungan terhadap produk makanan dan bahan mentah. Namun, amat disayangkan karena barang yang diimpor Amlat harganya tidak stabil dibandingkan dengan barang yang diekspor ke Eropa.

Inggris merupakan negara investor nomor satu di Amlat pada saat itu. Inggris menanamkan modalnya di beberapa negara besar seperti Argentina, Mexico, Peru, dan Brasil. Bisa dikatakan bahwa investasi di Amlat didominasi oleh Eropa (campur tangan oleh pihak asing).

Liberalisme Amlat juga merupakan produk impor dari Eropa (Prancis dan Inggris). Namun, Amlat tidak mengalami industrialisasi yang signifikan dibandingkan yang dialami Eropa karena perbedaan struktur sosialnya. Kebijakan ekonomi dan politik di Amlat dipegang oleh kelompok elit. Kelompok elit tersebut sangat memperhatikan inferioritas rasial pada masyarakat mereka.

Seiring dengan kemajuan ekonomi ekspor di Amlat, para pemilik tanah dan properti diberikan kesempatan yang besar untuk membuat kesempatan yang sebesar-besarnya. Masuknya kelompok profesional baru yang memainkan peranan ekonomi tambahan telah mengubah sektor komersial. Kelompok ini juga berupaya untuk memajukan hubungan Amlat dengan pasar luar (internasional).

Perubahan ini pun mempengaruhi perubahan politik Amlat pada umumnya. Para pemilik tanah dan elit ekonomi mulai mencari jabatan politik karena mereka beranggapan bahwa dengan terciptanya politik yang stabil, maka akan banyak investor asing yang datang, ekonomi menguat dan rezim yang mereka ciptakan pun akan bertahan. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa bentuk :
 Pemilik tanah dan elit ekonomi langsung mengambil alih pemerintahan, seperti yang terjadi di Argentina dan Chili. Mereka fokus terhadap eksklusivisme rezim dengan dukungan militer.
 Diktator, yang berasal dari kalangan militer mengeluarkan aturan yang hanya menguntungkan pemilik tanah.

B. FASE II : EKSPANSI PERTUMBUHAN EKSPOR – IMPOR 1900 – 1930

Kesuksesan kebijakan – kebijakan orientasi ekspor ini sangat tampak terutama hingga awal abad ke-20. argentina berkembang dengan ekspor daging sapi dan gandum, Mexico dengan gula, hanequen, minyak dan hasil tambang, Chile dengan tembaga dan buah serta diikuti oleh beberapa negaara Amerika Latin lainya. Konsolidasi yang disebabkan oleh sistem ekonomi ekspor impor ini menyebabkan dua perubahan fundamental bagi Amlat. Pertama, disebabkan oleh timbulnya kelas sosial menengah yang terdiri dari saudagar, penjaga toko, para profesional maupun pengusaha kecil yang tidak menduduki kelas atas kepemilikan. Mereka semua merupakan orang – orang terdidik dan mencari pengakuan dari masyarakat mereka. Kedua, timbulnya kelas pekerja melalui serikat buruh. Para pekerja ini tentu saja memegang peran penting dalam perekonomian. Pada 1914-1927 terjadi gelombang mobilisasi buruh sebagai bentuk protes buruh dan tentu saja hal ini sangat anarkis dan direspon oleh elit dominan. Perubahan besar lainya terjadi pada era 1900 – 1930 ketika banyak buruh melakukan urbanisasi. Namun amat disayangkan, para elit Amlat tidak mengikutsertakan kelas buruh dalam politik dengan alasan faktor kewarganegaraan dan etnis. Di Argentina dan Brasil, para imigran tidak bisa mengikuti pemilu, kecuali setelah adanya naturalisasi, sedangkan di Meksiko, kelas pekerja tidak mampu mempengaruhi rezim Diaz.

Model pertumbuhan perekonomian ekspor impor ini menawarkan keuntungan bagi proses integrasi Amlat ke dalam sistem kapitalisme global. Adaptasi politik membuat masing – masing negara ini tetap bertahan dengan kekuasaan nasional yang dipegang oleh bangsa elit.

Ide – ide ekonomi non – liberal seperti tarif protektif dan kontrol terhadap investasi yang datang dari luar biasanya juga dihubungkan dengan ide – ide politik non liberal. Hal ini sangat mungkin terjadi karena penyimpangan dari liberalisme bisa dikatakan sebagai suatu bentuk otoritarian. Liberalisme di Amlat cenderung diperlemah karena asumsi yang salah mengenai liberalisme. Mereka percaya denagn adanya reasionalitas dan membangun perusahaan sendiri tanpa adanya perlindungan maupun subsidi.

Elit – elit politik tadi pun merancang reformasi politik agar dapat mengakomodasi kepentingna buruh agar kaum menengah ke bawah ini tetap setia kepada rezim yang berkuasa. Salah satu dampak dari demokrasi ko-optasi ini dapat dilihat dari sistem pengkaderan.


C. FASE III : INDUSTRIALISASI SUBSTITUSI IMPOR 1930 – 1960an

The Great Depression menyebabkan bencana bagi perekonomian Amlat. Ketika perekonomian Amerika dan Eropa mengalami kejatuhan, Amlat pun terkena efek yang sangat buruk; ekspor menurun tajam. Hal ini tentu berakibat langsung terhadap perpolitikan Amlat dimana pada saat itu trjadi kudeta militer di beberapa negara Amlat seperti Argentina, Brasil, Chile, Peru, Guatemala, El Salvador dan Honduras.kelangsungan dari model perekonomian ekspor – impor, membantu kesalanhan ”pengambilan” peran yang dimainkan oleh aktor politik dan membuat masyarakat elbih siap menerima rezim militer.

Untuk keluar dari krisis,beberapa negara – negara Amlat mempererat hubungan dengan negara – negara industri. Pada 1933, Argentina menandatangani Roca Runciman Pact;perjanjian dagang. Langkah lain yang dilakukan adalah membangunindustri dengan tujuan mmengurangi ketergantungan terhadap produk impor dari Amerika dan Eropa serta membuka lapangan kerja bagi kelas pekerja agar tercipta suatu independensi dalam perekonomian. Negara – negara Amlat pun lebih memfokuskan pada peningkatan perekonomian dalam negerinya.

Pembangunan industri baru (yang lebih dikenal dengan ISI; import subtituing Industrialization)dengan penyerapan tenaga kerja menyebabkan bertambahnya kelas pekerja dan organisasi buruh sebagai suatu bentuk kekuatan sosial pun bertambah. Tentu saja hal ini sangat berpengaruh pada kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Kebijakan ISI ini cenderung sukses di Argentina, Brazil dan Mexico karena menyelamatkan pertumbuhan ekonomi.Dampak sosial lainya adalah munculnya kaum borjuis, para pemilik modal kapitalis.

Situasi politik dengan keadaan seperti ini sedikit memberi sedikit angin segar bagi partisipasi buruh di bawah demokrasi ko-optatif. Partai – partai buruh yang pro pada industrialisasi pun masuk dalam bursa pemilihan umum Chile. Bentuk lain dari dampak lain dari The Great Depression adalah terbentuknya koalisi – koalisi multikelas misalnya antara pengusaha dan pekerja seperti yang dilakukan oleh Juan Peron di Mexico pada 1940. Rezim populis memiliki dua karakteristik kunci, yaitu pemerintahanya yang semi otoriter dengan orang – orang yang memiliki kepentingan yang sama dan sangat bergantung pada kharisma yang dimiliki oleh pemimpin.

D. FASE IV : STAGNASI PERTUMBUHAN SUBSTITUSI IMPOR 1960 – 1980an

Pada tahun 1960an terjadi krisis di Amlat yang berdampak pada keadaan politik dan ekonominya. Krisis ini disebabkan oleh sistem ISI yang berjalan tidak sempurna, terbatasnya konsumen barang – barang manufaktur keluaran produksi Amlat. Walaupun industri di Amlat telah memakai teknologi yang tinggi, hanya sedikit tenaga kerja yang terserap. Di bidang politik, di beberapa negara Amlat sepeerti Brasil, Argentina dan Brasil telah terjadi kudeta militer. Dalam keadaan ekonomi yang hectic ini,rezim militer pun mengambil kebijakan dengan menurunkan upah buruh untuk menstabilkan perekonomian.

Pemerintah otoriter – birokratis yang dipakai pada saat itu juga makin memperparah keadaan mayoritas negara – negara Amlat. Pemerintahan model ini cenderung memberikan jabatan pemerintahan pada orang yang suadh berpengalaman pada jabatan birokratis, mengalienasikan kelas pekerja secara politik dan ekonomi, pengurangan bahkan penghapusan kegiatan politik, dan mulai melakukan konsoliasi dengan lembaga moneter internasional. Revisi ini diartikan sebagai bentuk ketergantungan negara – negara Amlat terhadap sistem dunia global.

E. FASE V : KRISIS, JERATAN, HUTANG LUAR NEGERI, DAN DEMOKRASI (1980 – 1990an)

Pertumbuhan perekonomian pada dekade 1970an ini sangat bergantung pada pinjaman luar negeri dimana pinjaman tersebut meningkat dari $27 juta menjadi $231 juta dengan bunga mencapai $18 juta. Pada Agustus 1982, Mexico mengumumkan bahwa ia tidak dapat membayar hutangnya. Selama dekade 1980an ini Amlat mengalami krisis ekonomi berkepanjangan sehingga untuk membayar utangnya Amlat harus menyisihkan 5% dari GDP nya untuk membayar hutangnya.

Akhirnya Amlat pun kembali pada sistem demokrasi karen sistem birokrasi – otoriter dinilai lemah. Industri lokal di negara – negara Amlat mengalami gangguan karena adanya MNC (multi national cooperations). Para aktor politik dari kalangan militer pun angkat tangan karena tidak mampu .enyelesaikan masalah serius ini. Jumlah pemilih dalam pemilu pun meningkat dan kader – kader baru yang berpendidikan dalam dunia perpolitikan pun meningkatkan.

Reformasi ekonomi pun dicanangkan pada awal 1990an yang ditandai dengan masuknya investor asing sehingga inflasi pada tahun 1989 dari 130% menjadi 14% pada tahun 1994 dan pertumbuhan ekonomi naik hingga level 3,5% dari 1,5%. Masalah – masalah dalam sektor ekonomi yang tersisa adalah investasi portofolio, kemiskinan dan ketidakmerataan.

Dalam politik, sistem yang digunakan adalah demokrasi elektoral yang tidak sempurna dengan hak veto di tangan militer.

PERAN DAN FUNGSI ASEAN DALAM PEMBERDAYAAN PEMUDA

Pemuda, sebagai bagian dari ASEAN, merupakan sumber daya mayor bagi pembangunan, kunci perubahan sosial, penggerak pembangunan ekonomi dan inovasi teknologi. Pemberdayaan pemuda sendiri berarti sebuah proses dimana semua pemuda “diolah” untuk menemukam jati diri dan kebutuhan sosial berupa kebutuhan akan rasa aman, peduli, bernilai, berguna dan bermental spiritual serta untuk membangun skill dan kompetensi yang membuat mereka menjadi berfungsi dan bisa berkontribusi dalam kehidupan sehari – hari (Pittmann, 1993, hal. 8).

The Millennium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan pada tahun 2000, sekali lagi menempatkan pemuda sebagai pusat perhatian utama dunia internasional. MDGs mempunyai delapan tujuan utama dimana masing – masingnya secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan anak – anak dan pemuda.

Pemuda,dalam kerjasama ASEAN,diarahkan oleh Program Kerja pada ASEAN Youth mempersiapkan untuk Pembangunan Berkelanjutan, yang dianggap dan diadopsi selama AMMY IV pada September 2003. Program Kerja melayani sebagai saluran utama untuk mengejar pemuda ASEAN kerja sama dalam pembangunan, dan garis besar sebagai berikut empat prioritas:
 Pengembangan Kebijakan,
 Meningkatkan Kesadaran ASEAN dan Tanggungjawab Sipil,
 Meningkatkan kerja dari Pemuda, dan
 Informasi Kurs / Mempromosikan Kemitraan.

Banyak kegiatan yang dilakukan untuk melaksanakan Program Kerja. ASEAN Youth Day Meeting (AYDM) dan ASEAN Youth Day Award dilaksanakan di tahun-tahun sebelumnya. Berikut kegiatan yang diselenggarakan pada tahun 2006:
 13th AYDM yang digelar di Kuala Lumpur pada 6-7 November 2006, termasuk dengan tema "ASEAN dan Pemuda".
 Tahap kedua dari "ASEAN Youth Leadership Program Pembangunan" diselenggarakan oleh Malaysia pada 25-29 Maret 2007, mempromosikan konsep kepemimpinan pemuda, kebijakan dan pemuda relawan.
 The "Regional Workshop kapasitas Mempromosikan Pemuda ke-inisiatif (ICT) Enterprises" diselenggarakan oleh Myanmar di Yangon pada 7-9 Maret 2007 dan ditujukan untuk memfasilitasi peningkatan kapasitas bagi pejabat pemerintah dan pengusaha muda untuk mempromosikan pemuda kewirausahaan.
 Untuk berbagi informasi, ASEAN Youth @ Website (www.aseanyouth.org) didirikan untuk negara-link website berbasis pemuda.
 Desakan akan pemilih Pemuda yang diselenggarakan di Singapura pada bulan April 2007, memberikan kesempatan kepada pemuda untuk hadir perwakilan mereka ke Menteri diskusi pada topic :
• Pendidikan,
• Lingkungan,
• Ketenagakerjaan & Entrepreneurship, dan
• Engagement masyarakat. .
Memberikan pendidikan kepada para pemuda ASEAN memberikan peran yang penting dalam pembangunan ASEAN menjadi sebuah komunitas (ASEAN Community. Hal ini juga telah dibahas pada The 10th AUN Educational Forum.
“…persatuan ASEAN bisa diwujudkan melalui perkembangan pendidikan dan media sebagai bagian dari aspek social dan budaya dari pembangunan komunitas…”
Tentu saja ini merupaka sebuah hal yang sangat dapat diterima dan cukup dapat diserukan terhadap para pemuda.

Pemuda bisa menjadi fasilitator bagi visi dan tujuan jangka panjang ke arah perubahan. Kita juga bisa menempatkan pemuda dalam pengambilan keeputusan – keputusan pemerintah erhadap kalangan grass root. Prioritas ASEAN terhadap pemuda diperkuat dengan adanya Te Manila Declaration on Strengthening
Participation in Sustainable Youth Employment serta the ASEAN Work Program on Preparing ASEAN Youth for Sustainable Employment and Other Challenges of Globalisation. Kedua program ini dinamakan the ASEAN Youth Leadership Development Programme’s activity on Training of Trainers and Te 11th ASEAN Youth Day Meeting.

Pemuda adalah aset terbesar suatu negara, semua negara – negara anggota ASEAN sangat sependapat dengan hal tersebut. Masing – masing negara anggota,yang mempunyai lembaga khusus untuk menangani masalah kepemudaan seperti National Youth Council maupun kementrian pemuda, memainkan peran aktif dalam memfasilitasi berbagai kolaborasi ASEAN dalam pemberdayaan pemuda. Keseluruhannya ini bertujuan untuk mempromosikan solidaritas antar negara ASEAN serta keterpaduan antara pemimpin organisasi – organisasi kepemudaan di kawasan ini.
Brunei Darussalam: Ministry of Culture, Youth and Sports,
Youth and Sports Department.
Cambodia : ASEAN Department; Ministry of Foreign Affairs and International Co-operation.
Indonesia : Ministry of Youth and Sports
Laos : ASEAN Department; Ministry of Foreign Affairs, Vientiane
Malaysia : Ministry of Youth and Sports
Myanmar : Ministry of Social Welfare, Relief and Resettlement Dept. Of Social Welfare.
Thailand : Office of Welfare Group Promotion and Empowerment of Vulnerable Groups
Vietnam : International Youth Co-operation Development Centre (CYDECO)

Pada tanggal 22 – 26 Januari 2007, ASEAN mengadakan The 2nd ASEAN Student Leaders' Summit di Angeles, Filipina. Pertemuan ini menghasilkan lima ide dimana salah satu diantaranya adalah pembentukan sebuah jurnal online dan volunteerism portal yang dinamakan dengan ASEAN Youth Connect. ASEAN Youth Connect dibentuk bagi pemberdayaan pemuda di regional Asia Tenggara. Ada empat tujuan yang hendak dicapai dari pembentukan website tersebut :
 Meningkatkan rasa memiliki antara pemuda ASEAN
 Memperkuat interaksi antara pemuda ASEAN
 Meningkatkan semangat kesukarelaan diantara pemuda.
 Mewadahi kontak antara pemuda dengan pemuda lainnya sebagai pilar dalam pembentukan komunitas ASEAN.

DIPLOMASI INDONESIA YANG MENITIKBERATKAN PADA KRISIS MONETER PERIODE 1997 – 2000




A.     Kondisi Indonesia pada Krisis Moneter 1997 – 2000
           
                       
            Disadari atau tidak krisis ekonomi 1997/1998 yang terjadi di Indonesia adalah karena utang luar Negeri yang membengkak dan sangat membebani cadangan devisa negara. Indonesia saat itu mempunyai cadangan devisa $ 17 Milyar harus menyeimbangkan utang swasta yang jumlahnya dua kali lipat (Prof, M. Sadli, 2001). Untuk menutupi kebutuhan cadangan devisa negara jalan satu – satunya adalah dengan hutang kepada lembaga keuangan atau lembaga modal yang tidak lain adalah IMF atau Bank Dunia. Dua lembaga keuangan ini kepemilikan saham terbesar (walaupun jumlah kepemilikannya 100 negara)masih dimiliki oleh Amerika Serikat (AS) yang tergabung dalam negara G-7. Walaupun lembaga swasta dan lembaga negara dalam aturannya, perjanjian hutang itu “ada hitam diatas putih” yaitu Letter of Intent (LoI) dimana pemerintah Indonesia harus melakukan perubahan struktural, deregulasi sektor keuangan, pemangkasan subsidi, bahkan pemberantasan KKN, harus segera dilaksanakan. Sehingga Bank Indonesia sebagai pemegang kebijakan moneter harus menetapkan mekanisme kurs mengambang bebas. Subsidi untuk para petani dicabut, untuk BBM pun dicabut (terbukti dengan naiknya BBM, karena tidak disubsidi). Kemudian pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara pada pemerintahan Gus Dur (Arya Maheka, 2001).[1] Indonesia tidak mendapatkan banyak simpatis ketika menghadapi krisis moneter. Runtuhnya orde baru dan krisis moneter menyebabkan terjadinya kekacauan, pelanggaran dan ketidakstabilan dalam berbagai bidang.

Berikut ini empat penyebab krisis ekonomi Indonesia tahun 1997-1998 :
  1. Yang pertama, stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek, telah menciptakan kondisi bagi “ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri yang berlebihan, bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri di bidang ekonomi maupun masyarakat perbankan sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan hutang swasta tersebut. Selain itu, hutang swasta tersebut banyak yang tidak dilandasi oleh kelayakan ekonomi, tetapi lebih mengandalkan koneksi politik, dan seakan didukung oleh persepsi bahwa negara akan ikut menanggung biaya apabila kelak terjadi kegagalan.
  2. banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri. Semua ini berarti, ketika nilai rupiah mulai terdepresiasi, sistem perbankan tidak mampu menempatkan dirinya sebagai “peredam kerusakan”, tetapi justru menjadi korban langsung akibat neracanya yang tidak sehat
  3. Sejalan dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula. Akhirnya semua itu berkembang menjadi “krisis kepercayaan” yang ternyata menjadi penyebab paling utama dari segala masalah ekonomi yang dihadapi pada waktu itu. Akibat krisis kepercayaan itu, modal yang dibawa lari ke luar tidak kunjung kembali, apalagi modal baru. Indonesia pun kehilangan kepercayaan dirinya dalam pergaulan internasional maupun terhadap rakyatnya sendiri.
  4. Perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri.
Seperti efek bola salju, krisis yang semula hanya berawal dari krisis nilai tukar baht di Thailand 2 Juli 1997, dalam tahun 1998 dengan cepat berkembang menjadi krisis ekonomi, berlanjut lagi krisis sosial kemudian ke krisis politik. Akhirnya berkembang menjadi krisis total yang melumpuhkan nyaris seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Lemahnya struktur sistem ekonomi Indonesia, hutang – hutang luaar negeri, kualitas faktor – faktor produksi, efisiensi, neraca pembayaran serta distribusi pendapatan yang tinggi.

B.     Kondisi Diplomasi Indonesia pada Tahun 1997 – 2000


Pengertian diplomasi ekonomi internasional adalah segala upaya untuk menjalin, meningkatkan dan memanfaatkan hubungan atau kerjasama dan apabila diperlukan dengan menggunakan kekuatan politik, untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi.[2]
Kemajuan – kemajuan Indonesia yang telah dilalui selama dua dekade sebelum krisis moneter berlangsung setidaknya bisa menjadi cambuk bagi para diplomat Indonesia dalam menyelematkan bangsa ini dari krisis yang berkepanjangan. Strategi – strategi yang diluncurkan dalam berdiplomasi pun tentunya berbeda dengan saat Indonesia masih berada pada situasi dan kondisi masa – masa ”kejayaan” sebelum krisis moneter melanda.
Krisis ekonomi Indonesia 1997-1998 dimulai dari kolapsnya ekonomi Thailand, menyebabkan kerentanan ekonomi regional, selanjutnya berdampak pada hilangnya kepercayaan terhadap prospek ASEAN sebagai macan Asia. Hal ini kemudian berimplikasi pada capital outflow yang masif dari kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.[3] Tak pelak lagi, kemudian hal itu berakibat pada melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar (depresiasi rupiah). Kondisi ini semakin diperparah ketika pemerintah, berdasarkan nasihat IMF, melikuidasi sejumlah bank bermasalah. Ketakutan publik bahwa uang mereka akan bisa hilang karena ketiadaan jaminan pemerintah terhadap dana yang mereka simpan di perbankan nasional dan rumor bahwa akan terjadi kelanjutan likuidasi bank-bank nasional menyebabkan terjadi rush besar-besaran terhadap perbankan nasional. Inilah kemudian yang menyebabkan kita masuk dalam krisis ekonomi.

Politik luar negeri suatu negara yang sesungguhnya merupakan hasil perpaduan dan refleksi dari politik dalam negeri yang dipengaruhi oleh perkembangan situasi regional maupun internasionalnya.[4] Dalam pelaksanaanya, kebijakan luar negeri Indonesia dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yang berkembang sesuai dengan dinamika yang terjadi. Dinamika kondisi internal di Indonesia yang berpengaruh besar terhadap arah pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia antara lain ditandai dengan krisis moneter/ekonomi yang parah hingga mengharuskan adanya keterlibatan yang lebih intensif dari negara-negara donor guna membantu pemulihan ekonomi Indonesia. Krisis ini dengan segera menjadi pemicu berbagai aksi unjuk rasa masyarakat, kerusuhan sosial, krisis kepercayaan, serta maraknya gerakan-gerakan separatis di Indonesia. Dampak langsung dari berbagai krisis tersebut adalah jatuhnya citra Indonesia di mata internasional yang kian mempersulit upaya pemulihan kondisi politik, ekonomi dan sosial budaya.

Sejalan dengan krisis ekonomi yang menimpa Indonesia, maka dari segi ekonomi upaya-upaya diplomasi Indonesia diarahkan pada usaha memanfaatkan peluang dan mengatasi tantangan yang timbul dari arus globalisasi untuk kepentingan pembangunan nasional; mengembangkan perluasan akses pasar untuk meningkatkan ekspor non-migas; mengupayakan meningkatnya arus investasi asing dan kerjasama keuangan; serta mengembangkan kerjasama teknik dan jasa ekonomi dalam mendukung upaya pembangunan dan pemulihan ekonomi nasional. Pelaksanaannya telah dilakukan secara sinergis melalui pendekatan global, regional, intra-regional, dan bilateral.

Dalam konteks regional, Indonesia sangat mendukung pemulihan perekonomian Asia Tenggara dan akan berpartisipasi aktif dalam berbagai langkah inovatif ASEAN dan tetap memainkan leadership role di ASEAN serta menjaga kekompakan (cohesion) sesama ASEAN.
Sesuai dengan perkembangan ekonomi dan politik di dalam negeri, penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik Iuar negeri akan memberikan penekanan pada kepentingan ekonomi. Suatu negara bisa dikatakan siap take off jika tidk lagi tergantung lagi dengan utang luar negeri dalam Anggaran Belanja Negara (ABN), investasi dan perkembangan ekonomi masyarakat secara keseluruhan (Rostow). Dalam mengintensifkan penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri di bidang ekonomi, perwakilan-perwakilan RI di luar negeri diminta untuk menjalin hubungan baik dengan para investor yang potensial. Perwakilan juga harus berfungsi sebagai public relations dalam upaya untuk memulihkan kepercayaan dunia kepada Indonesia. Sudah saatnya politik luar negeri Indonesia lebih mendorong keterlibatan lembaga-lembaga non-pemerintah (second track diplomacy) di bidang ekonomi, lingkungan hidup, HAM dan demokratisasi serta perlunya pemberdayaan masyarakat asli di wilayah sedang bergejolak.
Dalam upaya untuk meningkatkan hubungan ekonomi luar negeri, maka perlu dilakukan peningkatan diplomasi ekonomi dengan melakukan pendekatan politis bilateral dan multilateral. Pendekatan tersebut bertujuan untuk melakukan terobosan guna meningkatkan hubungan ekonomi pada umumnya dengan memberi perhatian khusus terhadap negara-negara yang memiliki potensi besar, khususnya seperti negara-negara ASEAN, Amerika Serikat, Jepang, dan RRC. Tekad ini akan diwujudkan dalam keikutsertaan dalam berbagai forum kerjasama ekonomi, baik bilateral, regional, maupun multilateral.  Untuk memperkuat diplomasi ekonomi Indonesia, dibutuhkan White Papers yang visioner, prioritas dari pemerintah dan dukungan dari segenap lapisan masyarakat. Diplomasi Indonesia dengan Bank Dunia, IMF dan WTO membutuhkan perhatian serius seiring dengan agenda pembangunan ekonomi. Peran diplomasi Indonesia harus diperluas dengan menggunakan politik luar negeri sebagai instrumen untuk mencapai pembangunan ekonomi. Untuk itu, dibutuhkan dukungan institusi yang memadai serta pola koordinasi yang efektif. Penguatan kelembagaan perlu didukung dengan penguatan kapasitas negosiator seiring dengan kompleksitas dan dinamika globalisasi.
Keikutsertaan Indonesia dalam forum-forum seperti APEC dan WTO dilandaskan pada politik luar negeri yang menitikberatkan pada solidaritas antarnegara berkembang, serta meningkatkan kemandirian bangsa dan kerjasama internasional bagi kesejahteraan rakyat. Diplomat Indonesia diarahkan untuk berperan aktif dalam proses perumusan kebijakan dan pembahasan isu-isu global termaksud di berbagai forum kerjasama. Partisipasi aktif juga perlu dilakukan dalam upaya mewujudkan suatu instrumen internasional yang mengatur perdagangan mata uang secara adil, terbuka, seimbang, dan 'based on rule system'.






[2] Diuraikan berdasarkan artikel  “Kepentingan Nasional Indonesia di Mata Internasional” dari http://ahmad.multiplay.com
[3] Dikutip dari artikel Dr. Andi Irawan pada  TEMPO Interaktif Edisi 30 Desember 2008
[4] Diuraikan berdasarkan pidato Dr.Alwi Shihab, ” Garis Besar Kebijaksanaan Luar Negeri Dan  Diplomasi Ri Memasuki Abad Ke-21pada Acara Curah Pendapat Tentang Perkembangan Dunia Dan Kebijakan Luar Negeri Ri yang bertempat di Jakarta pada 22 November 2000