Tuesday, August 16, 2011

Dirgahayu 66 Tahun Indonesiaku

MERDEKA !!!


Beberapa hal tersimpel yang bisa kita lakukan saat merayakan HUT RI adalah
1. Introspeksi diri, apakah sudah ada hal-hal positif yang kita berikan pada bangsa ini..bertanyalah pada diri sendiri, apa yang bisa kita lakukan untuk membuat bangsa ini menjadi lebih baik. Mulai dari diri sendiri, mulai dari hal kecil, dan jangan menundanya ;)
2. Tunjukkan bahwa kita memang CINTA dengan bangsa ini. Kalau bukan kita yang bangga terhadap bangsa ini,siapa lagi? Mari hargai bangsa ini dan berbenahlah :)
3. Jadilah seseorang yang berguna dan membawa manfaat bagi sekitar ;) berikan citra positif dan berpikiran luaslah ;)
4. Berbagi dengan sekitar tentang nasionalisme dan kecintaanmu terhadap tanah airmu :)


Ini caraku merayakan kecintaanku pada bangsa dan negara ini.. Bagaimana dengan caramu???

Tuesday, August 9, 2011

DIMENSI GENDER DALAM KEHIDUPAN MELAYU RIAU




          Secara umum, gender berarti pembagian kelamin lelaki dan perempuan. Masyarakat Melayu di Riau memnadang ini sebagai kehendak Tuhan. Dalam tradisi orang Melayu dapat dikesankan bahwa lelaki dan perempuan dilakukan berimbang, meskipun ada perlakuan istimewa pada keadaan tertentu. Jender diartikannya sebagai “intepretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan”. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan. Oleh Peter R. Beckman dan Francine D’Amico, Eds. (1994: 4-6), jender dapat didefenisikan sebagai karakteristik sosial yang diberikan kepada perempuan dan lelaki. Karakteristik sosial ini merupakan hasil perkembangan sosial dan budaya sehingga tidak bersifat permanen dan universal. Berdasarkan karakteristik sosial ditetapkan peran untuk laki-laki dan perempuan yang pantas. Akibatnya tibul asosiasi dunia publik bersifat maskulin pantas untuk kaum lelaki dan dunia privat, domestik dan rumah tangga bersifat feminim adalah milik perempuan.

A.   GENDER DALAM KEHIDUPAN SOSIAL DAN BUDAYA MELAYU RIAU

Dalam kehidupan Melayu tradisional,  ada semacam kecendrungan yang mengharapkan mempunyai anak perempuan terlebih dahulu daripada anak lelaki karena anak perempuan diharapkan bisa membantu ibunya dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Di sisi lain, anak lelaki diharapkan menjadi pembel keluarga dan mampu menolong ekonomi keluarga.

Melayu tradisional pernah menjadikan lelaki dan perempuan sebagai mitra yang sejajar. Hal ini dapat dilihat pada musim berladang. Para pemuda dan pemudi yang sebaya membuat organisasi tani yang dinamakan tobo. Lelaki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi induk tobo.

Dalam menyelesaikan masalah sosial budaya , dunia melayu Riau cenderung mengedepankan lelaki karena sesuai dengan perjalanan sejarah kehidupan mereka yang dinilai lebih tangguh dalam menghadapi kekerasan dan tipu daya serta berpikir lebih rasional. Perempuan dipandang tidak layak dengan kekerasan, dan gampang terpengaruh pendirianya. Meskipun demikian, teraju kepemimpinan tidak hanya dimonopoli oleh lelaki. Salah satu buktinya adalah Raja Hamidah permaisuri Sultan Mahmoud kerajaan Riau – Lingga (1824-1913) pernah diberi kekuasaan untuk memegang Regalia Istana (semacam cap kerajaan untuk mengesahkan berbagai kebijakan yang dibuat oleh istana.

Sementara itu, dalam keputusan untuk mencari calon suami dalam tradisi Melayu Riau perempuan mempunyai peran yang cukup dominan. Pihak perempuan akan selalu didampingi oleh ibunya  atau permpuan yang baya sehingga keputusan yang diambil banyak dipengaruhi oleh pihak ibunya. Lintasa tradisi seperti ini berlaku hingga tahun 1950-an.


B.   PERKEMBANGAN ISU GENDER DALAM ABAD 21 PADA MELAYU RIAU


Zaman globalisasi telah memberikan pengaruh pada pola kehidupan manusia yang kompleks. Menghadapi hal ini, tradisi Melayu mngenai gender juga mengalami perubahan karena bersentuhan dengan beberapa sikap dan sudut pandang. Pepatah yang masih berlaku sampai awal 1950-an ”setinggi – tinggi pendidikan perempuan akhirnya ke dapur juga” sudah hampir tak kedengaran lagi. Hal ini menandakan perempuan berpendidikan mulai memainkan perananya.

Konsep kesetaraan adalahkondisi dimana pria dan wanita memiliki kesamaan hak dan kewajiban yang terwujud dalam kesempatan, kedudukan, peranan yang dilandasi sikap dan perilaku saling bantu-membantu dan saling mengisi di semua bidang kehidupan. Perwujudan kemitrasejajaran yang harmonis merupakan tanggung jawab bersama pria dan wanita. ”istilah pemberdayaan dalam bahasa Inggris empowerment ada pengertian Power, kekuasaan atau kekuatan. Maka pemberdayaan sumber intelektual dan idiologi. Aset material berupa fisik, manusiawi atau finansial, seperti air, tanah, tubuh manusia, pekerjaan, uang. Sumber intelektual berupa pengetahuan, informasi dan gagasan atau ide. Penguasaan atau idiologi berarti kemampuan untuk mengembangkan, menyebarkan, mempertahankan perangkat tertentu dari kepercayaan, sikap, nilai dan perilaku, sehingga dapat menentukan bagaimana persepsi manusia, dan berfungsinya dalam lingkungan sosial, ekonomi dan politik tertentu. Dengan demikian, kekuasaan berada pada mereka yang menguasai atau dapat mempengaruhi distribusi sumber-sumber material, pengetahuan dan idiologi yang mengatur hubungan-hubungan sosial dalam kehidupan publik maupun pribadi” (Batliwala dalam Sen, 1994 : 29).

Proses budaya yang sudah berjalan sangat lama, kemudian diwariskan secara turun-temurun, dan terbentuk dalam norma sosial atau tata krama kehidupan dalam masyarakat, sehingga menjadi keharusan untuk ditaati oleh anggota masyarakatnya. Tidak ada orang yang mengetahui secara pasti, kapan jender tercipta atau dibentuk oleh budaya masyarakat, tapi akbatnya dapat dilihat sampai saat ini. Perempuan pada berbagai peran sosial jauh ketinggalan oleh laki-laki, sepertinya perempuan pasif, cenderung menerima dan kurang percaya diri. Sebenarnya peran sosial yang jauh ketinggalan dan cenderung pasif tersebut bukan terjadi secara alamiah, tetapi lebih disebabkan karena adanya konstruksi budaya.

Kebutuhan yang meningkat sedangkan sumber daya alamnya terbatas memaksa perempuan juga turut mempekerjakan ladang dan rumah tangga sekaligus. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan penyadapan getah. Secara keseluruhan, lelaki dan perempuan lebih dipengaruhi oleh pertimbangan harga diri orang Melayu daripada kebendaan. Lapangan pekerjaan yang memberi peluang bagi perempuan memelihara harkat dan martabatnya maka tidak akan mendapat diskriminasi oleh orang Melayu.

Jadi, tampak jelas bahwa orang Melayu sangat mementingkan jaminan pengakuan martabat, hak dan perlakuan yang menimbang rasa dalam berbagai lapangan kehidupan.