Wednesday, April 7, 2010

DEMOKRATISASI DI FILIPINA

DEMOKRATISASI DI FILIPINA

A. Tinjauan Mengenai Demokratisasi Filipina

Filipina adalah negara termakmur di Asia setelah Jepang pada dekade tahun 1960an. Pada dekade itu Filipina bahkan memiliki potensi menjadi salah satu kekuatan utama ekonomi di Asia. Namun kejatuhan mantan Presiden Marcos membalikkan status Filipina. Di era Presiden Arroyo, kinerja ekonomi membalikkan semua perkiraan pengamat. Ekonomi tumbuh sekitar rata-rata 5%. Selama ini paling tidak telah terjadi 7 percobaan kudeta di Filipina sejak tahun 1986 dan angkatan bersenjata tetap memegang peranan penting dalam kehidupan politik di negara itu.
Pemerintah Filipina mengikuti Pemerintah Amerika Serikat. Presiden dipilih dalam pemilu untuk masa jabatan 6 tahun, dan memilih dan mengepalai kabinet. Filipina merupakan anggota aktif dari PBB sejak penerimaannya pada 24 Oktober 1945. Filipina juga merupakan negara pendiri ASEAN, dan merupakan pemain aktif dalam APEC, Latin Union dan anggota dari Group of 24. Filipina juga merupakan sekutu Amerika Serikat, tetapi juga merupakan anggota dari Gerakan Non-Blok. Pengaruh Amerika sangat kuat, baik di bidang perekonomian, ideologi, maupun kebudayaan. Amerika dijadikan sebagai lambing kemajuan dan teladan bagi sebagian rakyat Filipina. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan kapitalisme yang dijunjung oleh Amerika dalam mencapai kemajuan, dianut oleh Filipina. Kapitalisme dianggap system yang paling tepat dalam mencapai pembangunan negeri. Di Filipina sendiri ada gerakan politik yang menginginkan dirinya sebagai salah satu Negara bagian Amerika. Di sisi lain, sebagian kelompok intelektual dan mahasiswa, berpendapat bahwa masa depan Filipina tidak terletak pada system kapitalisme dan kerjasama dengan Amerika.

People Power merupakan salah satu bentuk kekuatan rakyat yang bertujuan untuk menumbangkan penguasa. People Power juga merupakan salah satu simbol demokrasi. Aksi ini tidak dapat terjadi apabila semua elemen rakyat tidak bersatu padu. Pada intinya, demokrasi Filipina pasca-jatuhnya Ferdinand Marcos oleh People Power 1986 belum mampu menghadirkan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyatnya, melainkan justru kesenjangan sosial-ekonomi dan ketidakadilan yang merajalela. Berulangnya kudeta militer pembelot Filipina, mencerminkan masih kuatnya mental 'petualangan' militer di Manila. Hal ini, untuk sebagian, juga akibat masih kuatnya tradisi 'bos-isme' dan 'orang kuat' dalam politik di negeri itu.
Di tengah kompleksitas masalah itu, institusi militer Filipina yang memiliki personel idealis sekaligus petualang dan mempunyai militer progresif, menjadi mudah didorong untuk melawan kekuasaan yang sah. Sikap ini membuat Filipina selalu berada di bawah ancaman dalam 21 tahun terakhir. Memang, kudeta itu tidak selalu berhasil menjatuhkan pemerintahan. Tapi, dinamika kudeta dan pola pengacauan pada stabilitas negara tak kunjung henti. Jika bukan kudeta, Filipina akan selalu diterpa isu kudeta. Dua dari lima presiden Filipina sejak 1986 mundur karena kudeta yang juga didukung kekuatan rakyat, yakni Marcos dan Joseph Estrada. Dua lainnya, Corazon Aquino dan Arroyo, juga diterpa kudeta.
Hanya satu presiden Filipina yang tidak menghadapi upaya kudeta, yakni Fidel Ramos, yang berasal dari militer. Untuk kasus Ramos, publik Filipina memandangnya sebagai pemimpin yang mumpuni, kalaupun bukan yang terbaik, pasca-era Marcos. Perspektif John Sidel tentang konsep 'boss-isme' dan perspektif Abinales mengenai 'orang kuat' memudahkan kita menganalisa kembali hubungan antara 'masyarakat' dan 'negara' di Filipina dengan memberikan tekanan terhadap proses sejarah pembentukan negara itu sejak masa kolonial Amerika Serikat.
Meminjam perspektif Abinales, tampak bahwa pembentukan negara itu tidak tumbuh secara terpisah dari kemunculan 'orang kuat', melainkan justru sangat memberikan dasar yang kokoh bagi konsolidasi dan kemunculannya. Senada dengan Abinales, akademisi John Sidel melihat Filipina menjadi negara penghisap sebagai hasil ciptaan dari para bos yang juga penghisap, yang merupakan bagian dari jaringan kompleks para bos di negeri itu sejak pembentukannya karena kuatnya pengaruh kolonial AS.
Maka, meski demokratisasi telah diterapkan di Filipina pasca-kejatuhan Marcos, birokrat dan pejabat negeri itu tidaklah mengakomodasi hak-hak sosial-ekonomi rakyat dan hak asasi manusia, pemerintahan yang baik (good governance), pemilihan umum yang adil dan terbuka, serta masyarakat sipil yang independen. Para elite Filipina telah membiarkan demokrasi menjadi 'permainan' yang tidak mampu mendorong pencapaian tujuan utama demokrasi, yaitu kesejahteraan, kesetaraan, dan keadilan serta penguasaan massa terhadap semua urusan publik berdasarkan persamaan hak politik.
Sekitar 80% warga Filipina hanya menikmati 20% kue pembangunan nasionalnya dan kegagalan land reform di era demokrasi Manila kian menjerumuskan rakyat ke dalam situasi pupus harapan dan disilusi. Malah, di era demokrasi Filipina, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan keterbelakangan terus berlanjut. Situasi ini, menurut Dr. Olle Tornquist -akademisi Universitas Oslo, Swedia, memungkinkan keberhasilan berbagai 'kelompok dominan', yakni 'orang kuat' dan 'bos-bos' ekonomi-politik di Filipina, untuk membajak demokrasi.
B. Pengaruh Amerika bagi Demokratisasi Filipina
Amerika sebagai mantan penjajah Filipina, memiliki pengaruh besar bagi perkembangan bangsa Filipina. Amerika melakukan berbagai perubahan signifikan bagi Filipina. Sistem pendidikan dan demokrasi dibangun, Bahasa Inggris menjadi bahasa nasional, sistem administrasi publik dibuat serta berbagai transformasi „America way“ lainnya dikembangan ke masyarakat Filipina. Warisan sistem demokrasi Amerika juga mendapat catatan kritis oleh Abueva, seperti yang dikutip oleh Buendia (1994). Bagi Abueva, hal terpenting yang dapat dipelajari dari sistem demokrasi yang diajarkan oleh Amerika adalah; “hanya bangsa Filipina lah yang paling tahu tentang sistem politik dan ekonomi yang tepat buat rakyatnya“. Filipina lah yang harus menentukan sendiri model terbaik buat bangsanya.
Abueva melihat adanya perselingkuhan politik antara Amerika dengan elit Filipina dalam mengimplimentasikan demokrasi. Amerika membentuk format aliansi dengan para tuan tanah, membangun oligarki politik serta menerapkan sistem administrasi terpusat. Pusat mengatur segalanya tapi oleh pusat sebagian besar penduduk yang miskin di daerah pedesaan dibiarkan begitu saja. Para elit politik yang terpilih, biasanya pro Amerika, akan meletakan kepentingan bangsa Filipina dibawah bayangan kesepakatan sang elit tadi dengan Amerika.
Warisan sistem demokrasi yang salah dari Amerika ini terus membudaya di Filipina meskipun negara tersebut telah meraih kemerdekaannya. Buendia mencatat akibat warisan salah ini maka lahirlah model politik „neo-colonial politics“, dimana pemimpin politiknya berorientasi pada kepentingan global. Ada juga „patronage politik“ dan „elitis politik“ yang biasa terjadi pada daerah pertanian dimana para tuan tanah atau sedikit elit masyarakat saja yang bisa menjadi pemimpin politik. Selain itu dikenal juga „politik kupu-kupu“, politik tanpa idiologi yang jelas. Akibatnya model ini melahirkan tokoh politik yang pragmatis dan opportunis.
Pada akhirnya sistem politik yang rancu diatas membuat masyarakat frustasi. Mereka memimpikan lahirnya seorang „Robin Hood“ yang menyelamatkan rakyat. Muncul lah model „politik personalitas“ dimana tokoh yang berhasil mengindentifikasi sebagai pahlawan rakyat akan dipilih oleh masyarakat. Contoh gamblangnya adalah Joseph Estrada, mantan bintang film „Robin Hood ala Filipina“ yang terpilih menjadi presiden. Sayangnya Estrada harus mengakhiri karir politiknya secara dramatis di penjara akibat korupsi. Dampak dari mis-education dan „perselingkuhan demokrasi“ inilah yang mungkin menjadi problem besar bagi Filipina dewasa ini. Kemajuan Filipina menjadi bangsa yang kuat tersendat sekalipun berbagai berbagai potensi sudah dimilikinya.
C. Filipina dan Kudeta Kekuasaan
Konsensus dan konflik berjalan demikian cepat di Filipina. Hubungan politik Presiden Arroyo dan pesaingnya yakni mantan Presiden Joseph Estrada (70 tahun) juga tergolong unik. Belum lama ini Arroyo memberi konsesi politik yang melonggarkan nafas dan ruang gerak politik bagi Estrada. Beberapa pekan setelah menjalani hukuman penjara seumur hidup karena kasus korupsi, Estrada mendapat grasi atau pengampunan penuh dari Presiden Arroyo, setelah Estrada memenuhi permintaan Arroyo untuk tidak kembali mengikuti pencalonan presiden. Meskipun Arroyo berwenang untuk memberikan grasi pada Estrada, oleh sementara kalangan tetapi langkah politiknya itu dianggap mencederai proses hukum. Senator Richard Gordon yang selama ini kerap mengecam Estrada menegaskan, grasi itu hanya akan merusak citra Filipina (Kompas, 27/11/2007).
Popularitas politik Arroyo memang tengah anjlok di Filipina. Presiden perempuan yang bernama lengkap Gloria Macaraeg Macapagal-Arroyo (60 tahun) ini adalah presiden ke-14 Filipina, pada 2001 dan terpilih kembali pada 2004. Ia tampil sebagai presiden perempuan setelah Corazon C. Aquino. Ayahnya adalah mantan Presiden Diosdado Macapagal (1961-1965). Arroyo diambil sumpah jabatannya untuk kedua kali pada 30 Juni 2004, di Pulau Cebu.
Goncangan politik beberapa kali terjadi pada Arroyo, termasuk tuduhan kecurangan pemilu dan korupsi. Pada 10 Juni 2005, Samuel Ong, mantan wakil direktur Biro Penyelidik Nasional (National Bureau of Investigation), menuduh bahwa Arroyo telah berbuat curang dalam pemilu presiden 2004. Buktinya berupa rekaman kaset pembicaraan antara Arroyo dengan anggota Komisi Pemilu. Arroyo mengaku telah berbicara dengan orang tersebut, namun menolak pendapat bahwa dia telah mempengaruhi hasil pemilu.
Krisis memuncak pada 8 Juli 2005, sepuluh menteri dalam kabinet Arroyo mengundurkan diri dan meminta agar Arroyo juga mengikuti jejak mereka. Seruan ini juga didukung Partai Liberal dan mantan presiden Corazon Aquino. Di tengah desakan kuat agar ia mengundurkan diri, Arroyo lolos dari ancaman impeachment. Kekuatan politik Arroyo di parlemen masih kuat (mayoritas). Di sisi lain, Arroyo masih mewarisi tradisi kudeta pasca-Marcos. Dan, untungnya, kudeta-kudeta itu selalu gagal. Tapi, bagi Arroyo tentu amat serius dampaknya, karena uapaya kudeta yang gagal bagaimanapun merupakan bentuk ”protes yang keras”. Pertentangan – pertentangan yang terjadi di Filipina yang menyebabkan tumbangya Marcos bukan disebabkan oleh Cory Aquino, melainkan perubahan – perubahan yang terjadi pada rakyat Filipina yang telah melakukan pertentangan – pertentangan. Adanya pertentangan antara kaum jelata dengan kaum elit dan pertentangan antara kelompok elit itu sendiri akibat system kapitalisme yang ada di Filipina.
• Ada persoalan politik yang memunculkan political distrus. Faktanya, Arroyo dianggap bermasalah oleh lawan-lawan politiknya. Dalam dinamika politik sipil, kontroversi politik adalah satu hal yang biasa. Penyelesaian dari semua itu, adalah proses politik dan kalaupun buntu, pengadilan yang netral dan independenlah yang maju. Semua itu tentu diselaraskan dengan konstitusi yang ada. Konsekuensi “penyelesaian sipil” itu ialah hadirnya kegaduhan politik. Dan di negara yang menganut sistem demokrasi, kegaduhan politik itu biasa.
• Netralitas militer dalam politik. Selama militer masih terpesona dan geregetan pada kegaduhan politik yang “demokratis”, maka hanya akan menambah suasana politik semakin panas. Militer gampang larut dalam suasana politik, dan masih terjangkit euforia “people power”, sehingga membuatnya gampang untuk tidak netral. Ini membuat Filipina menjadi salah satu potret negara demokrasi pasca jatuhnya-Marcos yang, sayangnya sering gaduh. Dan, kegaduhan itu tak tanggung-tanggung, melibatkan kalangan militer di dalam lingkaran konflik politik.
Peran ”empuk” Presiden Filipina Gloria Macapagal-Arroyo yang memimpin Filipina setelah Marcos boleh berbangga memiliki seluruh harta warisan Marcos. Arroyo bisa dibilang berhasil meraih sukses. Setidaknya, setelah Filipina berhasil meraih kembali harta kekayaan negara yang telah dijarah oleh rezim Marcos saat itu. Dari keberhasilan Gloria Macapagal-Arroyo itulah Corazon ’Cory’ Aquino menitih perjuangannya untuk merebut hak-hak rakyat yang sudah dirampas oleh penguasa-penguasa dan kroni-kroni Marcos yang otoriter dan kejam kepada rakyat.
Selaras dengan mengusut kematian suaminya Benigno Aquino, pada 21 Agustus 1983 memicu protes skala luas terhadap Marcos yang berpuncak pada penggulingan secara damai pada Februari 1986. Ia kabur ke Hawaii dan tetap di pengasingan hingga meninggal pada 28 September 1989. Mengembalikan Hak Rakyat Lika-liku dan alih kekuasaan ketika itu tak menutupi perjuangan Corazon ’Cory’ Aquino untuk mengkondisikan kembali negara pasca-otoritarianisme kekuasaan. Beberapa negara yang terlepas dari rezim otoriter biasanya dilimpahi utang luar negeri yang menggunung, kondisi ekonomi yang carut-marut, dan berbagai kebobrokan sosial-ekonomi.
Di negara-negara yang di masa lalu diperintah oleh diktator, sudah bukan rahasia lagi bahwa kekayaan negara, hak rakyat banyak dijarah oleh sang diktator. Kekuasaan yang korup oleh sang diktator ini biasanya melibatkan kerabat dan kroni-kroninya. Di sinilah, Corazon ’Cory’ Aquino berperan penting mengembalikan kondisi negara yang lebih membaik.
Untuk itu, perjuangan para pemimpin yang menginginkan kedamaian dan kesejahteraan rakyatnya melalui demokrasi sudah seharusnya didukung. Sepeninggal Corazon ’Cory’ Aquino telah memberikan catatan bagi birokrasi Filipina khususnya dan negara-negara dunia umumnya untuk membela rakyat dalam kondisi apapun. Dan melangkahkan kaki membasmi korupsi dan otoriter kekuasaan. Semua itu untuk membangun pemerintahan yang demokratis.
Tidak seperti Marcos yang arah pemerintahannya makin menjauh dari demokrasi ketika ia menerapkan ”martial law” (Undang-undang Darurat Militer) sejak 1972 hingga 1986. Hukum itu mengatasi hukum sipil dan bertujuan meredam perlawanan pada ide, niat dan perintah Marcos.

UU ini diterapkan untuk mengabadikan kekuasaan Marcos. Yang kemudian ditandai dengan kehancuran secara sistematik institusi demokratik, ambruknya perekonomian, merebaknya kemiskinan dan kekerasan. Tak salah jika pesaingnya Senator Benigno Aquino dibunuh karena berusaha meredam ototriterianisme itu. Akan tetapi, melalui pemerintah Swiss, Mahkamah Agung Swiss telah menyetujui penyerahan 683 juta dolar AS atau sekitar Rp 5,8 triliun milik Marcos kepada pemerintah Filipina. Uang itu tersimpan pada dua rekening bank milik Marcos di perbankan Swiss. Selama memerintah, Marcos mengorupsi uang rakyat sebesar 5-10 miliar dolar AS atau sekitar Rp 40-80 triliun. Dana itu awalnya hanya sebesar 356 juta dolar AS ketika ditemukan dan dibekukan oleh pemerintah Swiss tahun 1986. Namun, uang itu telah beranak-pinak menjadi 683 juta dolar AS.
Penyitaan Harta Memang patut ditiru apa yang telah dilakukan oleh Presiden Arroyo, yakni menggunakan uang itu untuk kepentingan umum seperti pemberantasan kemiskinan, termasuk reformasi agraria. Sebagian dana itu dibagikan kepada keluarga dan korban penindasan selama kekuasaan rezim Marcos. Arroyo telah memerintahkan bahwa sekitar delapan milyar peso atau sekitar 146,2 juga dolar AS uang dari Swiss tersebut agar diamankan untuk keperluan kompensasi bagi korban pelanggaran HAM. Korban Marcos tak lain korban dari penetapan UU Darurat dicanangkan 1972. Selama masa kediktatoran, tidak sedikit korban yang jatuh, yang dirampas hak-hak politiknya, yang disiksa dengan tindak kekerasan. Mereka ini adalah para pemberani yang tidak takut mengambil risiko untuk menegakkan demokrasi. Tanpa perjuangan itu, barangkali Marcos akan tetap aman-aman saja di singgasana kekuasaannya.
Yang pasti, penyitaan dana Marcos adalah kemenangan bagi rakyat Filipina. Sebuah kemenangan yang tak ternilai, prestasi yang membanggakan setelah melalui jalan terjal dan berliku. Bagi Filipina, penyitaan harta Marcos merupakan tonggak sejarah penting dalam perjuangan hukum dan penegakan keadilan selama lebih dari satu dasawarsa. Uang rakyat telah kembali kepada rakyat. Panji-panji keadilan terus berusaha untuk ditegakkan. Corazon ’Cory’ Aquino maupun Arroyo merupakan pilar yang patut dijadikan contoh pemimpin demi menciptakan kesejahteraan serta keadilan bagi rakyat. Ini jelas prestasi besar yang sangat sulit dibayangkan jika bisa terjadi di Indonesia. Banyak orang pesimis bisa membangun angan-angan dan cita-cita luhur di Indonesia. Bukan tidak mungkin, pelajaran berharga dari Filipina atau perjuangan Corazon ’Cory’ Aquino dan Arroyo juga akan lenyap bagai asap, masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Selain itu, seriuskah aparat penegak hukum kita memburu harta yang dijarah oleh penguasa dari rakyat.
Kasus Filipina ini juga menjadi pelajaran sangat berharga bagi negara lain tentang pentingnya stabilitas politik. Filipina adalah negara termakmur di Asia setelah Jepang pada dekade tahun 1960an. Pada dekade itu Filipina bahkan memiliki potensi menjadi salah satu kekuatan utama ekonomi di Asia. Namun kejatuhan mantan Presiden Marcos membalikkan status Filipina. Di era Presiden Arroyo, kinerja ekonomi membalikkan semua perkiraan pengamat. Ekonomi tumbuh sekitar rata-rata 5%.

1 comment:

Anonymous said...

tulisanmu bagus.
oiya, punya refrensi buku tentang militer filipina?