Wednesday, April 7, 2010

DIPLOMASI INDONESIA YANG MENITIKBERATKAN PADA KRISIS MONETER PERIODE 1997 – 2000




A.     Kondisi Indonesia pada Krisis Moneter 1997 – 2000
           
                       
            Disadari atau tidak krisis ekonomi 1997/1998 yang terjadi di Indonesia adalah karena utang luar Negeri yang membengkak dan sangat membebani cadangan devisa negara. Indonesia saat itu mempunyai cadangan devisa $ 17 Milyar harus menyeimbangkan utang swasta yang jumlahnya dua kali lipat (Prof, M. Sadli, 2001). Untuk menutupi kebutuhan cadangan devisa negara jalan satu – satunya adalah dengan hutang kepada lembaga keuangan atau lembaga modal yang tidak lain adalah IMF atau Bank Dunia. Dua lembaga keuangan ini kepemilikan saham terbesar (walaupun jumlah kepemilikannya 100 negara)masih dimiliki oleh Amerika Serikat (AS) yang tergabung dalam negara G-7. Walaupun lembaga swasta dan lembaga negara dalam aturannya, perjanjian hutang itu “ada hitam diatas putih” yaitu Letter of Intent (LoI) dimana pemerintah Indonesia harus melakukan perubahan struktural, deregulasi sektor keuangan, pemangkasan subsidi, bahkan pemberantasan KKN, harus segera dilaksanakan. Sehingga Bank Indonesia sebagai pemegang kebijakan moneter harus menetapkan mekanisme kurs mengambang bebas. Subsidi untuk para petani dicabut, untuk BBM pun dicabut (terbukti dengan naiknya BBM, karena tidak disubsidi). Kemudian pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara pada pemerintahan Gus Dur (Arya Maheka, 2001).[1] Indonesia tidak mendapatkan banyak simpatis ketika menghadapi krisis moneter. Runtuhnya orde baru dan krisis moneter menyebabkan terjadinya kekacauan, pelanggaran dan ketidakstabilan dalam berbagai bidang.

Berikut ini empat penyebab krisis ekonomi Indonesia tahun 1997-1998 :
  1. Yang pertama, stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek, telah menciptakan kondisi bagi “ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri yang berlebihan, bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri di bidang ekonomi maupun masyarakat perbankan sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan hutang swasta tersebut. Selain itu, hutang swasta tersebut banyak yang tidak dilandasi oleh kelayakan ekonomi, tetapi lebih mengandalkan koneksi politik, dan seakan didukung oleh persepsi bahwa negara akan ikut menanggung biaya apabila kelak terjadi kegagalan.
  2. banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri. Semua ini berarti, ketika nilai rupiah mulai terdepresiasi, sistem perbankan tidak mampu menempatkan dirinya sebagai “peredam kerusakan”, tetapi justru menjadi korban langsung akibat neracanya yang tidak sehat
  3. Sejalan dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula. Akhirnya semua itu berkembang menjadi “krisis kepercayaan” yang ternyata menjadi penyebab paling utama dari segala masalah ekonomi yang dihadapi pada waktu itu. Akibat krisis kepercayaan itu, modal yang dibawa lari ke luar tidak kunjung kembali, apalagi modal baru. Indonesia pun kehilangan kepercayaan dirinya dalam pergaulan internasional maupun terhadap rakyatnya sendiri.
  4. Perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri.
Seperti efek bola salju, krisis yang semula hanya berawal dari krisis nilai tukar baht di Thailand 2 Juli 1997, dalam tahun 1998 dengan cepat berkembang menjadi krisis ekonomi, berlanjut lagi krisis sosial kemudian ke krisis politik. Akhirnya berkembang menjadi krisis total yang melumpuhkan nyaris seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Lemahnya struktur sistem ekonomi Indonesia, hutang – hutang luaar negeri, kualitas faktor – faktor produksi, efisiensi, neraca pembayaran serta distribusi pendapatan yang tinggi.

B.     Kondisi Diplomasi Indonesia pada Tahun 1997 – 2000


Pengertian diplomasi ekonomi internasional adalah segala upaya untuk menjalin, meningkatkan dan memanfaatkan hubungan atau kerjasama dan apabila diperlukan dengan menggunakan kekuatan politik, untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi.[2]
Kemajuan – kemajuan Indonesia yang telah dilalui selama dua dekade sebelum krisis moneter berlangsung setidaknya bisa menjadi cambuk bagi para diplomat Indonesia dalam menyelematkan bangsa ini dari krisis yang berkepanjangan. Strategi – strategi yang diluncurkan dalam berdiplomasi pun tentunya berbeda dengan saat Indonesia masih berada pada situasi dan kondisi masa – masa ”kejayaan” sebelum krisis moneter melanda.
Krisis ekonomi Indonesia 1997-1998 dimulai dari kolapsnya ekonomi Thailand, menyebabkan kerentanan ekonomi regional, selanjutnya berdampak pada hilangnya kepercayaan terhadap prospek ASEAN sebagai macan Asia. Hal ini kemudian berimplikasi pada capital outflow yang masif dari kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.[3] Tak pelak lagi, kemudian hal itu berakibat pada melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar (depresiasi rupiah). Kondisi ini semakin diperparah ketika pemerintah, berdasarkan nasihat IMF, melikuidasi sejumlah bank bermasalah. Ketakutan publik bahwa uang mereka akan bisa hilang karena ketiadaan jaminan pemerintah terhadap dana yang mereka simpan di perbankan nasional dan rumor bahwa akan terjadi kelanjutan likuidasi bank-bank nasional menyebabkan terjadi rush besar-besaran terhadap perbankan nasional. Inilah kemudian yang menyebabkan kita masuk dalam krisis ekonomi.

Politik luar negeri suatu negara yang sesungguhnya merupakan hasil perpaduan dan refleksi dari politik dalam negeri yang dipengaruhi oleh perkembangan situasi regional maupun internasionalnya.[4] Dalam pelaksanaanya, kebijakan luar negeri Indonesia dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yang berkembang sesuai dengan dinamika yang terjadi. Dinamika kondisi internal di Indonesia yang berpengaruh besar terhadap arah pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia antara lain ditandai dengan krisis moneter/ekonomi yang parah hingga mengharuskan adanya keterlibatan yang lebih intensif dari negara-negara donor guna membantu pemulihan ekonomi Indonesia. Krisis ini dengan segera menjadi pemicu berbagai aksi unjuk rasa masyarakat, kerusuhan sosial, krisis kepercayaan, serta maraknya gerakan-gerakan separatis di Indonesia. Dampak langsung dari berbagai krisis tersebut adalah jatuhnya citra Indonesia di mata internasional yang kian mempersulit upaya pemulihan kondisi politik, ekonomi dan sosial budaya.

Sejalan dengan krisis ekonomi yang menimpa Indonesia, maka dari segi ekonomi upaya-upaya diplomasi Indonesia diarahkan pada usaha memanfaatkan peluang dan mengatasi tantangan yang timbul dari arus globalisasi untuk kepentingan pembangunan nasional; mengembangkan perluasan akses pasar untuk meningkatkan ekspor non-migas; mengupayakan meningkatnya arus investasi asing dan kerjasama keuangan; serta mengembangkan kerjasama teknik dan jasa ekonomi dalam mendukung upaya pembangunan dan pemulihan ekonomi nasional. Pelaksanaannya telah dilakukan secara sinergis melalui pendekatan global, regional, intra-regional, dan bilateral.

Dalam konteks regional, Indonesia sangat mendukung pemulihan perekonomian Asia Tenggara dan akan berpartisipasi aktif dalam berbagai langkah inovatif ASEAN dan tetap memainkan leadership role di ASEAN serta menjaga kekompakan (cohesion) sesama ASEAN.
Sesuai dengan perkembangan ekonomi dan politik di dalam negeri, penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik Iuar negeri akan memberikan penekanan pada kepentingan ekonomi. Suatu negara bisa dikatakan siap take off jika tidk lagi tergantung lagi dengan utang luar negeri dalam Anggaran Belanja Negara (ABN), investasi dan perkembangan ekonomi masyarakat secara keseluruhan (Rostow). Dalam mengintensifkan penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri di bidang ekonomi, perwakilan-perwakilan RI di luar negeri diminta untuk menjalin hubungan baik dengan para investor yang potensial. Perwakilan juga harus berfungsi sebagai public relations dalam upaya untuk memulihkan kepercayaan dunia kepada Indonesia. Sudah saatnya politik luar negeri Indonesia lebih mendorong keterlibatan lembaga-lembaga non-pemerintah (second track diplomacy) di bidang ekonomi, lingkungan hidup, HAM dan demokratisasi serta perlunya pemberdayaan masyarakat asli di wilayah sedang bergejolak.
Dalam upaya untuk meningkatkan hubungan ekonomi luar negeri, maka perlu dilakukan peningkatan diplomasi ekonomi dengan melakukan pendekatan politis bilateral dan multilateral. Pendekatan tersebut bertujuan untuk melakukan terobosan guna meningkatkan hubungan ekonomi pada umumnya dengan memberi perhatian khusus terhadap negara-negara yang memiliki potensi besar, khususnya seperti negara-negara ASEAN, Amerika Serikat, Jepang, dan RRC. Tekad ini akan diwujudkan dalam keikutsertaan dalam berbagai forum kerjasama ekonomi, baik bilateral, regional, maupun multilateral.  Untuk memperkuat diplomasi ekonomi Indonesia, dibutuhkan White Papers yang visioner, prioritas dari pemerintah dan dukungan dari segenap lapisan masyarakat. Diplomasi Indonesia dengan Bank Dunia, IMF dan WTO membutuhkan perhatian serius seiring dengan agenda pembangunan ekonomi. Peran diplomasi Indonesia harus diperluas dengan menggunakan politik luar negeri sebagai instrumen untuk mencapai pembangunan ekonomi. Untuk itu, dibutuhkan dukungan institusi yang memadai serta pola koordinasi yang efektif. Penguatan kelembagaan perlu didukung dengan penguatan kapasitas negosiator seiring dengan kompleksitas dan dinamika globalisasi.
Keikutsertaan Indonesia dalam forum-forum seperti APEC dan WTO dilandaskan pada politik luar negeri yang menitikberatkan pada solidaritas antarnegara berkembang, serta meningkatkan kemandirian bangsa dan kerjasama internasional bagi kesejahteraan rakyat. Diplomat Indonesia diarahkan untuk berperan aktif dalam proses perumusan kebijakan dan pembahasan isu-isu global termaksud di berbagai forum kerjasama. Partisipasi aktif juga perlu dilakukan dalam upaya mewujudkan suatu instrumen internasional yang mengatur perdagangan mata uang secara adil, terbuka, seimbang, dan 'based on rule system'.






[2] Diuraikan berdasarkan artikel  “Kepentingan Nasional Indonesia di Mata Internasional” dari http://ahmad.multiplay.com
[3] Dikutip dari artikel Dr. Andi Irawan pada  TEMPO Interaktif Edisi 30 Desember 2008
[4] Diuraikan berdasarkan pidato Dr.Alwi Shihab, ” Garis Besar Kebijaksanaan Luar Negeri Dan  Diplomasi Ri Memasuki Abad Ke-21pada Acara Curah Pendapat Tentang Perkembangan Dunia Dan Kebijakan Luar Negeri Ri yang bertempat di Jakarta pada 22 November 2000

No comments: