Wednesday, April 21, 2010

PERANAN ASEAN DALAM KONFLIK LAUT CINA SELATAN

A. SEJARAH KONFLIK LAUT CINA SELATAN

Secara geografis kawasan Laut Cina Selatan dikelilingi sepuluh negara pantai (RRC dan Taiwan, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei Darussalam, Filipina), serta negara tak berpantai yaitu Laos, dan dependent territory yaitu Macau. Luas perairan Laut Cina Selatan mencakup Teluk Siam yang dibatasi Vietnam, Kamboja, Thailand dan Malaysia serta Teluk Tonkin yang dibatasi Vietnam dan RRC. Kawasan laut Cina Selatan, bila dilihat dalam tata lautan internasional merupakan kawasan bernilai ekonomis, politis dan strategis. Kawasan ini menjadi sangat penting karena kondisi potensi geografisnya maupun potensi sumber daya alam yang dimilikinya. Selain itu, kawasan tersebut merupakan jalur pelayaran dan komunikasi internasional (jalur lintas laut perdagangan internasional), sehingga menjadikan kawasan itu mengandung potensi konflik sekaligus potensi kerjasama. Sebuah perairan dengan potensi yang sangat luar biasa, kandungan minyak dan gas alam yang tinggi juga peranannya yang sangat penting sebagai jalur perdagangan dan distribusi minyak dunia membuat laut china selatan menjadi objek perdebatan regional selama bertahun-tahun. Paling tidak ada 9 negara yang mengajukan klaim atas wilayah laut china selatan, belum termasuk negara-negara maju yang juga punya kepentingan tersendiri terhadap laut cina selatan.
Perkiraan kandungan minyak bumi di kawasan laut cina selatan cukup beragam. Cina sangat aktif mengklaim kawasan laut cina selatan karena pernah mengeluarkan estimasi kandungan minyak di kawasan laut cina selatan sebanyak 213 bbl (billion barrels), sementara Amerika memperkirakan kandungan minyak di laut cina selatan sebanyak 28 bbl. Seperti halnya minyak bumi, kandungan gas alam di kawasan laut cina selatan juga beragam dengan angka yang sangat luar biasa.
Selain sumber daya alam laut cina selatan, jalur pelayaran juga menjadi latar belakang kuat bagi negara-negara maju untuk menjadikan stabilitas kawasan laut cina selatan sebagai prioritas dalam aktifitas politik luar negerinya. Sebut saja jepang, 80 persen import minyaknya diangkut melalui jalur kawasan laut cina selatan. Amerika juga sangat membutuhkan kawasan ini untuk mendukung mobilitas pasukan militernya dalam melancarkan dominasi globalnya. Selain itu, Amerika juga mempunyai angka kerjasama perdagangan yang tinggi dengan negara-negara di kawasan laut cina selatan. Dengan latar belakang potensi yang begitu besar, maka tidak berlebihan jika kawasan ini menjadi objek perdebatan multilateral.
Di Laut Cina Selatan terdapat empat kelompok gugusan kepulauan, dan karang-karang yaitu: Paracel, Spartly, Pratas, dan kepulauan Maccalesfield. Meskipun sengketa teritorial di Laut Cina Selatan tidak terbatas pada kedua gugusan kepulauan Spartly dan paracel, (misalnya perselisihan mengenai Pulau Phu Quac di Teluk Thailand antara Kamboja dan Vietnam), namun klaim multilateral Spartly dan Paracel lebih menonjol karena intensitas konfliknya. Di antara kedua kepulauan itu, permasalahannya lebih terpusat pada Spartly, yang merupakan gugus kepulauan yang mencakup bagian laut Cina Selatan, yang diklaim oleh enam negara yaitu Cina, Taiwan, Vietnam, Brunei, Filipina, dan Malaysia, sementara Kepulauan Paracel dan juga Pratas, praktis secara efektif masing-masing sudah berada di bawah kendali Cina dan Taiwan.
Mengenai penamaan Kepulauan di Laut Cina Selatan umumnya tergantung atas klaimnya, Taiwan misalnya menamakan Kepulauan Spartly dengan Shinnengunto, Vietnam menyebut dengan Truong Sa (Beting Panjang), Filipina menyebut Kalayaan (kemerdekaan), Malaysia menyebut dengan Itu Aba dan Terumbu Layang-layang, sedangkan RRC lebih suka menyebut Nansha Quadao (kelompok Pulau Selatan). Masyarakat internasional menyebutnya Kepulauan Spartly yang berarti burung layang-layang.

B. KONSEP KERJASAMA ASEAN DALAM MENYELESAIKAN KONFLIK LAUT CINA SELATAN

Deklarasi Bangkok 1967 telah menetapkan bahwa bidang ekonomi dan sosial budaya merupakan bidang-bidang penting ASEAN. Deklarasi Bangkok tidak secara eksplisit menyebut kerjasama politik dan keamanan. Namun demikian, sejak awal berdirinya ASEAN, kerjasama politik dan keamanan mendapat perhatian dan dinilai penting. Kerjasama politik dan keamanan terutama diarahkan untuk mengembangkan penyelesaian secara damai sengketa-sengketa regional, menciptakan dan memelihara kawasan yang damai dan stabil, serta mengupayakan koordinasi sikap politik dalam menghadapi berbagai masalah politik regional dan global. Dengan kata lain, Deklarasi Bangkok mengandung keinginan politik para pendiri ASEAN untuk hidup berdampingan secara damai dan mengadakan kerjasama regional. Pada prinsipnya kerjasama politik dan keamanan ASEAN mempunyai arah dalam menciptakan stabilitas dan perdamaian kawasan dengan bertumpu pada dinamika dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan serta sekaligus dapat membangun rasa saling percaya (confidence building) menuju suatu “masyarakat kepentingan keamanan bersama” di Asia Tenggara dan Asia Pasifik yang kemudian sehingga menumbuhkan pengharapan terciptanya sebuah lingkungan strategis yang diharapkan.
Berdasarkan tujuan-tujuan dasar organisasi tersebut, ASEAN berupaya untuk mengambil bagian dalam memecahkan persoalan konflik Laut Cina Selatan dengan upaya-upaya damai. Apalagi, ketegangan yang terjadi diantara negara-negara yang bersengketa sangat rawan konflik. Kondisi ini mencerminkan adanya dilema keamanan (security dilemma) sehingga mendorong lahirnya konsep yang lazim disebut sebagai security interdependence, yaitu bentuk usaha keamanan bersama untuk mengawasi masalah-masalah regional, yang menyangkut keamanan regional yang diakibatkan munculnya gangguan di kawasan Laut Cina Selatan.
Dalam memperoleh keamanan bersama yang komprehensif maka setidaknya dapat menjalankan konsep keamanan yang kooperatif di kawasan. Di antara negara-negara ASEAN misalnya, istilah Ketahanan Nasional dan Ketahan Regional menjadi suatu konsep kooperatif yang pada intinya bersifat inward looking yang telah lama mendasari hubungan antarnegara. Dengan demikian dalam usaha mewujudkan kerjasama keamanan tersebut harus dibarengi dengan semangat konstruktif dan penuh keterbukaan di antara negara-negara di kawasan baik itu dalam konteks ASEAN maupun Asia Pasifik. Inti semangat itu adalah mendahulukan konsultasi daripada konfrontasi, menentramkan daripada menangkal, transparansi daripada pengrahasiaan, pencegahaan daripada penanggulangan dan interdepedensi daripada unilateralisme.
Oleh karena itu, dalam mengatasi potensi konflik di Laut Cina Selatan, diharapkan nilai-nilai positif yang dapat dicapai ASEAN melalui pengelolaan keamanan bersama regional (regional common security) harus dipromosikan untuk menciptakan keamanan dan perdamaian berlandaskan kepentingan yang sama, sehingga semua negara kawasan, termasuk negara ekstra kawasan harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi dalam memberikan jaminan keamanan kawasan di samping adanya konvergensi kepentingan masing-masing. Hal ini penting karena pada dasarnya kawasan Laut Cina Selatan merupakan lahan potensial masa depan dan salah satu kunci penentu bagi lancarnya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional masing-masing negara kawasan. Selain itu, Laut Cina Selatan juga tidak dapat dijauhkan dari fungsinya sebagai safety belt dalam menghadapi ancaman, tantanganm hambatan dan gangguan khususnya bagi negara-negara dalam lingkaran Asia Tenggara dan Asia Pasifik. Pada titik inilah ASEAN melihat urgensitas Konflik Laut Cina Selatan sebagai masalah yang sangat penting.

C. PENGARUH KONFLIK LAUT CINA SELATAN BAGI ASEAN SERTA PERANAN ASEAN REGIONAL FORUM (ARF)

Dengan berakhirnya perang dingin, ASEAN sebagai organisasi kawasan Asia Tenggara tidak dapat lagi melihat persolaan dan ancaman terbatas satu kawasan saja. Tetapi harus lebih dapat menangkap segala keadaan yang mengancam yang dapat datang dari manapun, termasuk dari kawasan yang lebuh luas, seperti Asia Pasifik. Perubahan sistem internasional yang menciptakan konsep-konsep keamanan baru tersebut melatarbelakangi ASEAN untuk mengambil bagian dalam penyelesaian konflik di Laut Cina Selatan, disamping beberapa pertimbangan dan kepentingan-kepentingan ASEAN lainnya. Signifikansi konflik Laut Cina Selatan bagi ASEAN, secara singkat dapat duraikan sebagai berikut:
a) Kepentingan ASEAN dalam menjaga stabilitas hubungan negara-negara anggotanya, khususnya yang terlibat langsung dalam konflik Laut Cina Selatan (Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darusalam).
b) Laut Cina Selatan merupakan wilayah yang strategis dan sangat potensial untuk menjadi pangkalan militer dari negara-negara yang akan meluaskan pengaruhnya di Asia Tenggara. Kemungkinan tersebut merupakan ancaman yang harus diperhatikan ASEAN dalam mempertahankan keamanan regional.
c) Ketiga, masalah ekonomis. Laut Cina Selatan memiliki potensi besar baik dari sumber daya mineral, perikanan bahkan minyak dan gas bumi.
Dengan demikian, konflik Laut Cina Selatan juga merupakan wahana bagi ASEAN untuk mempertegas eksistensinya sebagai organisasi regional yang solid dan masih berfungsi sebagaimana mestinya. regionalisme ASEAN sangat penting dikembangkan menjadi satu kawasan yang lebih luas yaitu regionalisme Asia Pasifik, dimana masalah-masalah regional seperti sengketa Laut Cina Selatan tidak hanya melibatkan negara-negara ASEAN akan tetapi juga negara non-ASEAN seperti RRC dan Taiwan dan negara kawasan lainnya yang tidak terlibat langsung. Eksistensi ASEAN, dalam pembentukkannya dan pencapaian tujuannya, disandarkan pada inspirasi, komitmen politik dan keamanan regional. Ada empat keputusan organisasional yang dapat dijadikan landasan dan instrumen dalam pengelolaan potensi konflik laut Cina Selatan. Keempat keputusan organisasional tersebut yaitu:
a) Deklarasi Kuala Lumpour 1971 tentang kawasan damai, bebas dan Netral (ZOPFAN).
b) Traktat Persahanatan dan kerjasama di Asia Tenggara (TAC) yang dihasilkan oleh KTT ASEAN I 1976.
c) Pembentukan ASEAN Regional Forum (ARF) dan pertemuan pertamanya di bangkok tahun 1994.
d) KTT ASEAN V (1995) menghasilkan traktat mengenai kawasan Bebas Senjata Nuklir di Asia Tenggara (Treaty on South East Zone-Nuclear Free Zone – SEANWFZ).
ASEAN Regional Forum (ARF) merupakan forum dialog resmi antarpemerintah dan merupakan bagian dari upaya membangun saling percaya di kalangan negara-negara Asia Pasifik untuk membicarakan masalah-masalah keamanan regional secara lebih langsung dan terbuka sehingga ASEAN dapat tumbuh secara lebih kuat dan mandiri. ARF lahir sebagai implikasi logis dari berakhirnya sistem bipolar di Asia pasifik dan mengharuskan negara-negara Asia Pasifik mencari pendekatan-pendekatan baru atas masalah-masalah keamanan di kawasan. Pada saat yang sama dinamika kawasan di Asia Pasifik masih menyimpan beberapa ketidakpastian, dimana salah satunya berupa konflik-konflik teritorial khususnya konflik teritorial di Laut Cina Selatan.
Dengan demikian ARF merupakan forum multilateral pertama di Asia Pasifik untuk membahas isu-isu keamanan. Pembentukan lembaga ini merupakan sebuah langkah mendahului oleh negara-negara ASEAN, yang memberi arti sukses dan kemandirian pengelompokkan regional itu. Ini juga merupakan salah satu bukti keunggulan ASEAN dalam memanfaatkan momentum agenda keamanan kawasan. Misalnya keberhasilan ASEAN dalam melakukan dialog multilateral tentang masalah di Laut Cina Selatan. Keberhasilan tersebut merupakan upaya penting untuk mencegah pecahnya konflik antarnegara yang terlibat sengketa perbatasan di kawasan Asia pasifik.
Dari uraian diatas nampak bahwa ARF memiliki peran yang signifikan dalam berbagai isu keamanan yangmenyimpan sejumlah konflik. Selain itu makna ARF menjadi semakin penting sebagai satu-satunya forum keamanan yang paling banyak diminati oleh negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Sejak berdirinya, forum ini telah menyumbangkan berbagai program konkret dalam mengelola isu keamanan regional di Laut Cina Selatan.
REFERENSI
Peter lewis Young, “The Potential for Conflict in South China Sea”, (The Various Names Given to the Spartly), Asian Defence Journal, 1995.
Asmani Usman, “konflik Batas-batas Teritorial di kawasan Perairan Asia”, dalam Strategi dan Hubungan Internasional, Indonesia di Kawasan Asia Pasifik,
Abdul Rivai Ras, “Konflik Laut Cina Selatan dan Ketahanan Regional Asia Pasifik”, PT. Rendino Putra Sejati dan TNI AL: Jakarta, 2001
Penyelesaian Konflik Laut Cina Selatan, http://theglobalpolitics.com/?p=55 diakses pada 7 November 2009

2 comments:

Anonymous said...

kereeen...

it's really help..

R Bagus Oka said...

makasi kak :)